STANDAR (a thought about being an orphan by a 20-something-years-old orphan)
CATATAN PENTING: Seluruh tulisan ini datang dari "diary"-ku (jika kau bisa menganggapnya sebagai diary) yang di tulis pada 17 April 2021. Oleh karena itu, tulisan ini akan sangat kental akan pendapat pribadi dan sangat relatif, yang berarti tulisan ini tidak bisa dijadikan referensi tentang kehidupan sebagai seorang yatim piatu, baik sebagai referensi relatif atau absolut. Jadi, bentuklah opini kalian sendiri, lakukan penelitian sendiri jika memang merasa ingin tau. Ini adalah tulisan yang sebagian didasarkan pada pendapat pribadi, sebagian lagi didasarkan pada pengalaman, tapi isinya sendiri sudah melewati proses editorial pribadi. Enjoy the shitty writing! Off you go then!
println("");
println("");
Kau tahu kalau ada yang namanya standarisasi? Misalnya, seperti benda-benda yang bertulisan SNI, berarti benda-benda itu sudah mengikuti Standar Nasional. Benda-benda itu sudah di kalibrasi, di bandingkan dengan sebuah instrumen sentral yang pada dasarnya menjadi referensi perbandingan agar mudah memutuskan apakah sesuatu sudah: "Ya, ini sesuai standar."; atau "Tidak, ini tidak sesuai standar."
Bicara soal standar, aku mau menceritakan sudut pandangku mengenai "standar " dan "ekspektasi" dari sudut pandang orang yang tidak memiliki referensi untuk dijadikan "standar". Definisi dari "standar" dan "ekspektasi" akan di sama ratakan dan di jelaskan di paragraf berikutnya.
Setiap orang tua di luar sana pasti ingin anak mereka sukses, jadi inilah, jadi itulah, punya inilah, punya itulah, atau bisa iniliah, bisa itulah, pokoknya... terserah. Jadi, mereka menerapkan "standar dan ekspketasi" yang harus di capai oleh anak mereka. Misalnya, harus rangking satu setiap tahun, atau kalau sudah dewasa harus bisa menghasilkan uang sekian atau kerja apalah, atau bisa menghafal berapa juz lah. It's all ok and all, it's all fine and all. Walau ya... ada kemungkinan si anak akan kelelahan mengejar standar itu, tapi aku tidak akan membicarakan kasus semacam itu disini.
Jadi, dalam kasusku, aku tidak memiliki standar, aku tidak memiliki referensi yang menjadi tolak ukur dan perbandingan. Anak-anak lain yang menjalani kehidupan normal seringkali menjadi cerminan dari orang tua mereka (entah itu "standar dan ekspektasi" mereka atau sikap mereka, baik atau buruk itu tidak menjadi topik bahasan disini).Dalam kasusku anak yatim adalah cerminan dari ketiadaan orang tua.
Tanpa ada orang tua, aku merasa kebingungan. Aku tidak tahu bagaimana aku harus mengatur diriku, aku tidak tahu apa yang harus ku harapkan dari diriku, aku tidak tahu apa ekspektasi diriku sendiri. Jadi, sebagai gantinya, aku membuat 'standar' itu sendiri yang juga harus ku penuhi sendiri, bagus bukan? Maksudku bagus dalam artian, terserah aku, aku bisa membuat standar itu rendah dan mudah, iya 'kan?
Tidak.
Aku selalu kecewa dengan diriku sendiri. Aku merasa ada saja yang tidak bisa kupenuhi. Aku selalu merasa ada yang kurang. Mungkin aku meletakkan standarku terlalu tinggi? Mungkin saja, padahal yang ku mau hanyalah bisa pensiun dengan tenang nanti (walaupun aku terlalu awal untuk memikirkannya).
Aku merasa aku harus menurunkan standarku, tapi apa betul standar itu ada? Jika betul ada, maka apa benar standar itu di atur oleh diriku sendiri? Jika bukan aku sendiri, lalu siapa yang mengaturnya?[1][2] Lalu, bagaimana cara menurunkannya? Karena manusia selalu mengejar sesuatu yang lebih tinggi.
Kurasa, sampai disitu saja.
[1] Cek di sini untuk melihat sisi filosofisnya secara singkat (walau pemikiran itu muncul secara mandiri tanpa mengaitkan dengan topik ini).[3]
[2] Atau cek di sini dan di sini untuk lebih lengkapnya (mengasumsikan kau bisa bahasa inggris, walau yang dibahas masih sama dengan apa yang ada di footnote sebelumnya) (link alternatif berbahasa Indonesia hasil terjemahan mesin bisa ditemukan di sini dan di sini).[3]
[3] Sederhananya, "Jika Tuhan menciptakan permainan, bersama dengan semua peraturannya, maka bagaimana para pemainnya bisa bebas?" Walau kalimat tadi agak kurang tepat.[4]
[4] Okay, i went sidestracked here, i'm gonna stop now.
Komentar
Posting Komentar