Berbagi Hati dan Rasa
Malam pertama yang tidak biasa.
Cerita ini mengandung deskripsi sensualitas. Elemen ini berperan sebagai penggaris bawah emosi antar karakter, dan di gambarkan secara non-eksplisit. Walau begitu, pembaca di harap bijaksana dalam membaca, khususnya bagi para pembaca yang mungkin merasa konten seperti demikian berlebihan atau membuat tidak nyaman.
Berbagi Hati dan Rasa by Pengkhayal Pasif is licensed under Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International
Berbagi Hati Dan Rasa
Ia melangkah ke dalam kafe, di sambut oleh hiruk pikuk keramaian, diselingi oleh aroma kopi yang menggiurkan.
“Apa kau masih ingat denganku? Aku Eve, kita dulu satu sekolah. Aku hanya ingin tahu apakah kita bisa bertemu hari ini di sebuah kafe,” Dia ingat pesan teks itu, baru saja dia terima beberapa jam yang lalu.
Dia tidak yakin dengan penampilannya. Rambutnya disisir rapi, namun terburu-buru. Kemeja putihnya yang kumal sama sekali tidak membantu kesan penampilannya. Dia hampir tidak bisa menyiapkan diri karena dia baru saja pulang dari kantornya.
Mulutnya tertutup rapat seakan lidahnya telah dicuri. Disanalah dia, Eve. Wajah ovalnya di lilit oleh kerudung merah muda. Jantungnya berhenti berdetak sesaat, dia masih menyimpan perasaan untuknya.
“A-Adam, maaf jika terkesan tiba-tiba…” Dia tergagap, melihat ke bawah ke meja.
“Ah… tidak perlu minta maaf, ti-tidak apa-apa,” Adam kesulitan mengalirkan kata-katanya.
Mereka menikmati kopi sambil berbincang, saling bercerita setelah berpisah selama bertahun-tahun. Udaranya terkesan tegang, mereka berdua kesulitan membentuk kalimat utuh. Kegagapan mengikuti setiap kata yang mereka ucapkan.
“Entah kenapa rasanya tegang sekali…” Adam berkomentar.
“Ah, ya. Ma-Maaf,” jawab Eve sambil memalingkan wajah.
Mereka terdiam. Tidak ada yang mengucapkan kata-kata, seakan mereka sudah saling mengerti dan percaya.
“A-Adam, aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan ini, tapi…” Eve menatap langsung ke mata Adam, ada keraguan di matanya.
Wajah Adam terasa geli dan panas, tetapi dia tidak bisa memalingkan wajahnya. Pipi Eve memerah manis.
“Ah… Ada apa?” pancing Adam.
“Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat…” sahut Eve pelan.
“Tapi, A-Aku tahu kalau a-aku telah terlalu lama menyimpan rasa ini…” sambungnya, tergagap diantara keraguan.
Jantung Adam berdetak kencang. Dunia di sekelilingnya menjadi sunyi, suara hiruk pikuk lenyap tenggelam. Dunia berubah menjadi monokromatik, hanya Eve saja yang berwarna.
“Lamar aku,” sambungnya dengan lembut.
Jantungnya berhenti berdetak, dunia di sekelilingnya membeku. Dia tidak mempercayainya. Mereka berdua menyimpan perasaan yang sama, dan sekarang, dia bisa bersama Eve.
Dia sedang bersama Eve di kamar. Kamarnya gelap, hanya disinari oleh sebuah lampu meja dan cahaya rembulan yang menembus kaca jendela. Setelah pesta pernikahan yang panjang, sekarang mereka bisa berduaan. Malam semakin kelam menggelap, keheningan menyelimuti raga mereka. Tidak ada suara lain yang bisa mereka dengar kecuali suara nafas mereka sendiri.
Adam duduk di tepi ranjang, di samping Eve. Wajah Eve masih dibungkus oleh kerudungnya, dan piyama satinnya menonjolkan cerah penampilannya.
Mereka terdiam.
Mereka memalingkan wajah dari satu sama lain. Wajah Eve memucat, detak jantungnya tak beraturan. Dia tahu apa yang dia inginkan, dia sekedar tidak tahu bagaimana mengatakannya. Sementara itu, ekspresi Adam netral, tetapi dia bernafas panjang dengan sengaja.
“Sekarang kau telah jadi suamiku… Bisakah aku meminta sesuatu dari mu?” tanya dia dengan pelan.
“Kau… Kau mau apa?” balas Adam dengan ragu.
“Duduklah di pangkuanku… Dan peluk aku…” jawab Eve terbata-bata.
“Ah… Apakah tidak apa-apa? Tapi, beratku…”
“Kita pikirkan itu nanti,” potongnya.
Eve menyesuaikan posisinya. Kedua kakinya berbaring lurus di atas matras, tubuhnya bersandar di kepala kasur.
“Tidak apa-apa, ke-kemarilah…” undangnya dengan lembut.
Dengan pelan, Adam mendekatinya. Dia merangkak, mendekatkan tubuhnya dengan Eve. Dia menarik nafas pelan, dadanya berdebar tanpa ada kekang.
Jantungnya berhenti sesaat dia meletakkan berat tubuhnya. Pahanya yang empuk menahan tubuhnya. Eve terengah-engah lembut.
“Ka-Kau tidak apa-apa?” Tanya Adam, khawatir.
Eve mengangkat kepalanya, menatap ke mata Adam. Keheningan menyelimuti mereka untuk yang kesekian kalinya, seraya mereka mempertahankan tatapan mereka. Wajah Eve memucat, kedua matanya setengah tertutup. Wajah Adam memerah.
“Buka kerudungku…” pinta Eve di antara sela nafasnya.
“Ta-Tapi…”
“Tidak apa-apa, ini buat kamu,” Eve tidak membiarkan Adam menyelesaikan ucapannya, walau dia sendiri sedang kesulitan bernafas.
Tangan Adam bergetar halus, menggenggam kain lembut kerudungnya. Mata Eve menatapnya lembut, menunggunya, mengantisipasi tindakannya. Tanpa keraguan, Adam menarik kerudungnya, mengungkapkan rambutnya yang hitam panjang dan berkilau.
Dari pangkuan Eve, Adam merangkul lehernya, menarik tubuhnya. Ia elus kepalanya, rambut panjangnya terasa halus di tangannya. Tubuhnya terasa elok dan empuk dalam pelukannya.
Eve melingkarkan tangannya di pinggangnya, menekan tubuh Adam ke tubuhnya. Ia bisa merasakan hangatnya. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang berat, ia bisa merasakan gerak nafasnya yang intens.
Mereka diam sesaat, menenggelamkan diri dalam momen ini. Adam duduk di pangkuan Eve, merangkulnya. Eve memeluknya. Ia memejamkan matanya, merebahkan kepalanya di dada Adam.
“Adam,” panggilnya dari dalam rangkulannya.
Adam melonggarkan pelukannya, memberi jarak di antara tubuh mereka. Ia membiarkan kedua tangannya menggantung di bahu Eve. Matanya memandang ke bawah, tepat ke pupil mata Eve. Mata dia setengah tertutup, tatapannya berasmara, nafasnya beruap. Jantung Adam berdetak keras melihat pandangan itu.
“Y-Ya?” sahut Adam. Lidahnya keras setegang kedua tangannya.
“Bo-bolehkah aku merangkul lehermu, da-dan memberimu ciuman?” suaranya lembut, dipotong oleh engahannya.
“Y-Ya,” Adam menurut. Pikirannya berpacu, berimajinasi, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Tangannya yang lembut merangkul ke belakang leher Adam, menyentak indranya. Adam memasrahkan dirinya, walau kedua tangannya membeku dan nafasnya beradu, ia membiarkan Eve memandu.
“Tidak apa-apa… Jangan takut…” ucap Eve pelan.
“Kita… akan belajar… bersama,” sambungnya, diakhiri dengan desah lembut.
Wajah mereka saling mendekat. Navas Eve menegang, tajam dan panjang. Matanya setengah tertutup, bibirnya melengkung turun terlihat lembut. Ranah perasaannya terbuka, mengundang Adam untuk menjadi satu dengannya. Sementara itu, mata Adam terbuka lebar, mulai tidak sabar. Bibirnya setengah terbuka, menghembuskan ketegangannya. Jantungnya berdebar, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Antisipasinya memuncak, rasa penasarannya tidak terbendung.
Wajah mereka semakin mendekat. Mata mereka tertutup, membiarkan bibir mereka saling tertarik, bersentuhan dalam sebuah ciuman. Mereka bergerak dengan pelan, lemah lembut, berhati-hati, bersama mempelajari momen ini. Mereka menjadi satu, bersama-sama menjelajahi hasrat mereka. Jeda canggung diantara dansa lembut mereka tidak mengurangi gairah mutual mereka. Mereka menjadi begitu dekat, berbagi hati dan berbagi rasa di malam yang tenang ini.
“Apa kau masih ingat denganku? Aku Eve, kita dulu satu sekolah. Aku hanya ingin tahu apakah kita bisa bertemu hari ini di sebuah kafe,” Dia ingat pesan teks itu, baru saja dia terima beberapa jam yang lalu.
Dia tidak yakin dengan penampilannya. Rambutnya disisir rapi, namun terburu-buru. Kemeja putihnya yang kumal sama sekali tidak membantu kesan penampilannya. Dia hampir tidak bisa menyiapkan diri karena dia baru saja pulang dari kantornya.
Mulutnya tertutup rapat seakan lidahnya telah dicuri. Disanalah dia, Eve. Wajah ovalnya di lilit oleh kerudung merah muda. Jantungnya berhenti berdetak sesaat, dia masih menyimpan perasaan untuknya.
“A-Adam, maaf jika terkesan tiba-tiba…” Dia tergagap, melihat ke bawah ke meja.
“Ah… tidak perlu minta maaf, ti-tidak apa-apa,” Adam kesulitan mengalirkan kata-katanya.
Mereka menikmati kopi sambil berbincang, saling bercerita setelah berpisah selama bertahun-tahun. Udaranya terkesan tegang, mereka berdua kesulitan membentuk kalimat utuh. Kegagapan mengikuti setiap kata yang mereka ucapkan.
“Entah kenapa rasanya tegang sekali…” Adam berkomentar.
“Ah, ya. Ma-Maaf,” jawab Eve sambil memalingkan wajah.
Mereka terdiam. Tidak ada yang mengucapkan kata-kata, seakan mereka sudah saling mengerti dan percaya.
“A-Adam, aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan ini, tapi…” Eve menatap langsung ke mata Adam, ada keraguan di matanya.
Wajah Adam terasa geli dan panas, tetapi dia tidak bisa memalingkan wajahnya. Pipi Eve memerah manis.
“Ah… Ada apa?” pancing Adam.
“Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat…” sahut Eve pelan.
“Tapi, A-Aku tahu kalau a-aku telah terlalu lama menyimpan rasa ini…” sambungnya, tergagap diantara keraguan.
Jantung Adam berdetak kencang. Dunia di sekelilingnya menjadi sunyi, suara hiruk pikuk lenyap tenggelam. Dunia berubah menjadi monokromatik, hanya Eve saja yang berwarna.
“Lamar aku,” sambungnya dengan lembut.
Jantungnya berhenti berdetak, dunia di sekelilingnya membeku. Dia tidak mempercayainya. Mereka berdua menyimpan perasaan yang sama, dan sekarang, dia bisa bersama Eve.
Dia sedang bersama Eve di kamar. Kamarnya gelap, hanya disinari oleh sebuah lampu meja dan cahaya rembulan yang menembus kaca jendela. Setelah pesta pernikahan yang panjang, sekarang mereka bisa berduaan. Malam semakin kelam menggelap, keheningan menyelimuti raga mereka. Tidak ada suara lain yang bisa mereka dengar kecuali suara nafas mereka sendiri.
Adam duduk di tepi ranjang, di samping Eve. Wajah Eve masih dibungkus oleh kerudungnya, dan piyama satinnya menonjolkan cerah penampilannya.
Mereka terdiam.
Mereka memalingkan wajah dari satu sama lain. Wajah Eve memucat, detak jantungnya tak beraturan. Dia tahu apa yang dia inginkan, dia sekedar tidak tahu bagaimana mengatakannya. Sementara itu, ekspresi Adam netral, tetapi dia bernafas panjang dengan sengaja.
“Sekarang kau telah jadi suamiku… Bisakah aku meminta sesuatu dari mu?” tanya dia dengan pelan.
“Kau… Kau mau apa?” balas Adam dengan ragu.
“Duduklah di pangkuanku… Dan peluk aku…” jawab Eve terbata-bata.
“Ah… Apakah tidak apa-apa? Tapi, beratku…”
“Kita pikirkan itu nanti,” potongnya.
Eve menyesuaikan posisinya. Kedua kakinya berbaring lurus di atas matras, tubuhnya bersandar di kepala kasur.
“Tidak apa-apa, ke-kemarilah…” undangnya dengan lembut.
Dengan pelan, Adam mendekatinya. Dia merangkak, mendekatkan tubuhnya dengan Eve. Dia menarik nafas pelan, dadanya berdebar tanpa ada kekang.
Jantungnya berhenti sesaat dia meletakkan berat tubuhnya. Pahanya yang empuk menahan tubuhnya. Eve terengah-engah lembut.
“Ka-Kau tidak apa-apa?” Tanya Adam, khawatir.
Eve mengangkat kepalanya, menatap ke mata Adam. Keheningan menyelimuti mereka untuk yang kesekian kalinya, seraya mereka mempertahankan tatapan mereka. Wajah Eve memucat, kedua matanya setengah tertutup. Wajah Adam memerah.
“Buka kerudungku…” pinta Eve di antara sela nafasnya.
“Ta-Tapi…”
“Tidak apa-apa, ini buat kamu,” Eve tidak membiarkan Adam menyelesaikan ucapannya, walau dia sendiri sedang kesulitan bernafas.
Tangan Adam bergetar halus, menggenggam kain lembut kerudungnya. Mata Eve menatapnya lembut, menunggunya, mengantisipasi tindakannya. Tanpa keraguan, Adam menarik kerudungnya, mengungkapkan rambutnya yang hitam panjang dan berkilau.
Dari pangkuan Eve, Adam merangkul lehernya, menarik tubuhnya. Ia elus kepalanya, rambut panjangnya terasa halus di tangannya. Tubuhnya terasa elok dan empuk dalam pelukannya.
Eve melingkarkan tangannya di pinggangnya, menekan tubuh Adam ke tubuhnya. Ia bisa merasakan hangatnya. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang berat, ia bisa merasakan gerak nafasnya yang intens.
Mereka diam sesaat, menenggelamkan diri dalam momen ini. Adam duduk di pangkuan Eve, merangkulnya. Eve memeluknya. Ia memejamkan matanya, merebahkan kepalanya di dada Adam.
“Adam,” panggilnya dari dalam rangkulannya.
Adam melonggarkan pelukannya, memberi jarak di antara tubuh mereka. Ia membiarkan kedua tangannya menggantung di bahu Eve. Matanya memandang ke bawah, tepat ke pupil mata Eve. Mata dia setengah tertutup, tatapannya berasmara, nafasnya beruap. Jantung Adam berdetak keras melihat pandangan itu.
“Y-Ya?” sahut Adam. Lidahnya keras setegang kedua tangannya.
“Bo-bolehkah aku merangkul lehermu, da-dan memberimu ciuman?” suaranya lembut, dipotong oleh engahannya.
“Y-Ya,” Adam menurut. Pikirannya berpacu, berimajinasi, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Tangannya yang lembut merangkul ke belakang leher Adam, menyentak indranya. Adam memasrahkan dirinya, walau kedua tangannya membeku dan nafasnya beradu, ia membiarkan Eve memandu.
“Tidak apa-apa… Jangan takut…” ucap Eve pelan.
“Kita… akan belajar… bersama,” sambungnya, diakhiri dengan desah lembut.
Wajah mereka saling mendekat. Navas Eve menegang, tajam dan panjang. Matanya setengah tertutup, bibirnya melengkung turun terlihat lembut. Ranah perasaannya terbuka, mengundang Adam untuk menjadi satu dengannya. Sementara itu, mata Adam terbuka lebar, mulai tidak sabar. Bibirnya setengah terbuka, menghembuskan ketegangannya. Jantungnya berdebar, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Antisipasinya memuncak, rasa penasarannya tidak terbendung.
Wajah mereka semakin mendekat. Mata mereka tertutup, membiarkan bibir mereka saling tertarik, bersentuhan dalam sebuah ciuman. Mereka bergerak dengan pelan, lemah lembut, berhati-hati, bersama mempelajari momen ini. Mereka menjadi satu, bersama-sama menjelajahi hasrat mereka. Jeda canggung diantara dansa lembut mereka tidak mengurangi gairah mutual mereka. Mereka menjadi begitu dekat, berbagi hati dan berbagi rasa di malam yang tenang ini.
Yo! Saya adalah penulis cerita ini.
BalasHapusKenapa lisensinya CC BY-NC-ND? Karena ini merupakan salah satu cerita tersulit yang pernah ku tulis. It's not entirely free, and I'm NOT sorry.
Cerita ini diterjemahkan dari "Unveiling Night" yang mana masih di dalam arsip, dan ya, nanti juga akan di publikasikan di salah satu akun Wattpad saya secara orisinal. Proses penerjemahannya cukup sulit karena cerita orisinalnya banyak menggunakan innuendo dan metafor. Jadi, versi ini bukan terjemahan one-on-one dengan yang original. Somehow versi bahasa Indonesia terkesan lebih eksplisit dibandingkan dengan versi originalnya dalam bahasa Inggris.
Proses penulisan cerita ini juga cukup lama, di bangun dari beberapa cerita sebelumnya yang juga mengangkat tema dan/atau alur yang sama, dimulai dari "First Night," lalu "An Honest Request," lalu "Unveiling Night" yang merupakan judul versi bahasa Inggris dari cerita ini, dan kemudian di teruskan oleh "Under A Different Color." Pengalaman yang di dapat dari penulisan "Under A Different Color" di aplikasikan di cerita ini untuk menonjolkan sisi sensualitasnya.
I guess, that's it.