Hari Yang Tenang

Seorang anak memecah hari yang tenang.

Hari Yang Tenang by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0

 

Hari yang tenang. Rerumputan di tepi aspal melambai pelan, tertiup oleh hembusan angin yang lembut. Suara deru kasar bisa terdengar dari kejauhan. Derunya menjadi semakin nyaring, berubah menjadi raungan panjang, sampai akhirnya rerumputan di sekitar bergoyang dengan kasar, di hantam oleh pusaran angin dari sebuah pesawat yang lepas landas.


Di sebuah jendela, seorang pria muda memandang ke pesawat itu, sekarang sudah terbang menjauh. Di antara suara deru yang mulai menghilang ditelan jarak, ia mendengar suara ketukan. Matanya dengan cepat tertuju pada si tamu, sedang mengetuk pintu depan asrama. Dia segera melangkah keluar dari kamarnya untuk menemui si tamu kecil.

Sebuah dentingan metalik bisa terdengar saat dia membuka pintunya.

"Ah... bagaimana kau bisa masuk kesini?" Tanya dia, penasaran.

"Saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya, apakah Anda baru disini?" si gadis kecil bertanya balik. Matanya terbuka lebar, tatapannya tajam dan yakin.

Spontan Alex memiringkan kepalanya. Pertanyaan tadi hanyalah pertanyaan biasa, tetapi cara dia mengucapkannya terkesan tidak biasa.

"Saya Alina Alcott, putri sang Kolonel," dia memperkenalkan dirinya, tangannya menepuk dadanya dengan percaya diri.

"Dan Anda?" dia bertanya dengan suaranya yang lembut, sambil menunjuk pada Alex dengan telapak tangannya.

"Aku Letnan Alex Corrie. Aku pilot baru di sini," Alex menjawabnya, menyembunyikan keterkejutannya di balik keramahan.

"Saya tahu kalau ibu saya sedang sibuk, tapi saya mau menemuinya," ujar Alina, matanya menatap ke bawah.

"Tunggu disini," jawab Alex. Alina membalas dengan anggukan.

Dia mengambil satu langkah kebelakang, menjaga tatapannya padanya. Lalu, dia berbalik. Selangkah dua langkah kemudian, dia berhenti lagi. Dia menoleh kebelakang, Alina masih berdiri di depan pintu. Dia segera mempercepat langkahnya.

Di pintunya tertulis “Kol. Arlia Alcott, Komandan Pangkalan RAF Shetland.” Dia mengetuk pintunya.

“Siapa itu?” sebuah suara feminin nan tajam menjawab dari balik pintu.

“Letnan Alex. Putrimu sedang menunggu di luar,” jawab Alex.

“Aku sedang  ada panggilan, bisakah kau menjaganya sebentar?” Suara itu meminta, ketajamannya melesap.

“Siap, Bu,” Jawab Alex tanpa ragu, dia segera melangkah pergi.

Dia berjalan melintasi sebuah lorong. Sesosok bayangan berdiri ujungnya. Alina masih berdiri disana.

“Maaf, ibumu sedang sibuk,”

Mendengar itu, Alina melangkah mundur. Kedua kakinya menopangnya di atas rerumputan hijau. Alex mengikuti langkahnya dari belakang. Alina memutar tubuhnya ibarat seorang ballerina, hanya bertopang pada satu kaki. Dia menyentak kakinya ke tanah, menghentikan dansanya.

“Berarti kau sedang ditugaskan padaku,” dia menunjuk pada Alex.

Senyumnya percaya diri, caranya berbicara tidak seperti anak biasa.

Mereka mendekati sebuah hanggar. Sesaat setelah mereka melangkah masuk, sebuah kilatan cahaya membutakan mereka.

“Jangan kau lihat! Nanti matamu rusak!” Alex menutup mata Alina dengan kedua tangannya, melindunginya dari kilatan cahaya las.

“Tapi, itu kembang api! Aku ingin lihat! Siapapun, bolehkah aku pinjam kacamata las?” Alina menunjuk-nunjuk dengan buta.

Seorang mekanik datang dari pesawat yang terparkir itu, dia meminjamkan Alina sebuah kacamata hitam.

“Tidak apa-apa, Pak. Kami akan menjaganya,” ujar sang mekanik. Sepertinya Alina sudah sering bertemu dengan mereka.

Alina tersenyum tipis, bergandengan dengan si mekanik. Mereka melangkah mendekati pesawat itu. Kilatan-kilatan cahaya dari alat las menemani mereka.

“Letnan Corrie?” sebuah suara lembut memanggil.

“Siap, Bu,” Alex langsung berdiri tegak menghadap sang Kolonel. Dia mengangkat tangan kanannya ke dahinya, memberi hormat. Sang Kolonel membalas hormatnya.

“Cukup formalitasnya,” jawab sang Kolonel sambil menurunkan hormatnya.

Mereka berdua berdiri di luar hanggar. Asap putih gemulai mengepul kecil dari rokok yang dihisap oleh Kolonel. Dia menghembuskan kepulan asap yang menggelembung ke udara. Selagi sang Kolonel menikmati rokoknya, mereka terdiam untuk sesaat.

“Terima kasih karena telah menjaganya,” ujar sang Kolonel, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding hanggar.

“Tidak masalah, Kolonel,” jawab Alex singkat.

“Dia tampak lebih… dewasa,” Alex memuji. Dia menoleh ke balik pintu hanggar, Alina terlihat sedang berdiri disamping seorang mekanik.

“Tidak seharusnya dia dewasa secepat itu, seharusnya dia menikmati masa kanak-kanaknya,” jawab sang Kolonel, suaranya melesu.

Alex menyandarkan tubuhnya ke dinding. Sementara sang Kolonel melemparkan rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya.

“Berapa umurnya?” Tanya Alex penasaran.

“10 tahun,” jawab Kolonel tanpa menoleh.

Mereka terdiam lagi. Alex tidak mempercayainya. Alina baru berumur 10 tahun. Caranya berbicara dan bersikap membawa kesan percaya diri yang terlalu rumit bagi seorang anak berumur 10 tahun.

“Menjadi seorang Ace itu sulit,” celetuk Kolonel sambil merapikan jasnya.

“Tapi, kau dapat bonus, ‘kan?”

“Tapi aku tidak bisa berhenti demi putriku,” jawab Kolonel dengan tajam, tatapannya merah menusuk raga.

Alex tidak punya jawaban yang pantas, tetapi dia menjaga tatapannya pada dia. Di saat seperti ini memalingkan muka akan terkesan tidak hormat.

“Maaf. Aku tidak seharusnya mengeluh kepadamu,” dia memalingkan wajahnya.

“Tidak apa-apa. Lagipula tadi itu bukan keluhan resmi,” jawab Alex mencoba meringankan suasana.

Sang Kolonel terkekeh pelan, bibirnya melengkung tipis saat dia diingatkan tentang ketidaksukaannya terhadap formalitas.

“Mama! Alina dapat A plus!” Alina berlari ke arah mereka, kedua tangannya terbuka lebar.

Sang Kolonel menerima pelukan Alina. Kedua tangannya melingkar dengan erat saat mereka berputar di atas rerumputan. Senyum lebar bahagia bisa terlihat di sela-sela gerakan mereka.

“Ibu bangga denganmu!” Sahut Kolonel sambil menurunkan Alina dari dekapannya.

“Alina ingin es krim yang mama janjikan,” pinta Alina.

“Baik Alina, kamu akan dapat es krimnya, ya?” Jawab Kolonel, bibirnya melengkung dari pipi ke pipi.

Alina berseru bahagia, dia memeluk ibunya dengan erat.

“Letnan, tolong beritahu pilot lain kalau aku sedang di luar pangkalan sampai jam 4 sore. Tapi, aku masih bisa dihubungi,” ujar sang Kolonel dengan nada datar otoritatif.

“Siap, Bu,” jawab Alex singkat sambil menghormat.

Sang Kolonel membalas hormatnya. Lalu, ia melangkah pergi, berpegangan tangan dengan putrinya. Alex tidak pernah terpikir jikalau komandannya adalah seorang ibu. Dia balas melambaikan tangannya ketika Alina melambai padanya dari kejauhan.

Komentar

  1. Ay, ini saya, sang penulis cerita ini. Cerita ini diterjemahkan dari "A Calm Day" yang merupakan cerita orisinalnya, dalam bahasa Inggris tentunya. "A Calm Day" masih di simpan dalam arsip dan akan di posting di salah satu akun Wattpad dalam bentuk orisinalnya. Penerjemahannya agak sulit, it's not straightforward karena perbedaan aturan grammar. Tapi, ku rasa terjamahan ini cukup baik. Cheers, my non-existent visitors!

    BalasHapus

Posting Komentar