KILAS MAJU
Cerita berikut mengandung referensi dan deskripsi penggunaan kata keras, kekerasan, perundungan, pelecehan seksual, dan referensi terhadap tindakan bunuh diri.
Pembaca diharap bijaksana dalam menanggapi konten yang demikian dalam cerita ini, khususnya bagi pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten yang demikian.
Kilas Maju
by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-NC-ND 4.0
Awal
Aku benci dia, aku sangat benci dia. Dia itu sok tau, dia itu sok cerdas, dia itu sok cantik, dia itu sok baik. Aku berjanji akan menghancurkan hidupnya.
Aku menekan-tekan tombol-tombol di layar ponselku. Aku juga melakukan hal yang sama di laptopku. Ku tuliskan semua cerita fiksi yang bohong itu, akan kuhancurkan hidupnya, sedikit demi sedikit.
Berita bohong sudah menyebar, dan semakin menular seperti virus. Tinggal menunggu bagaimana ini semua berakhir.
****
Hari demi hari, informasi itu semakin menyebar, dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel. Menyebar, dampaknya mulai menghantam targetku. Dia mulai dijauhi, dia mulai terasingkan, dia mulai mengucilkan diri. Dia mulai menjadi target celaan, tidak ada lagi orang yang percaya dengannya. Sedangkan aku, aku memperhatikan dari jauh, menunjukkan wajah pilu, walau dalam hati sebenarnya aku tersenyum.
Ku gunakan kesempatan ini untuk memperbesar namaku diantara teman-temanku, menunjukkan kecerdasanku, menampilkan wibawaku, menegaskan akan posisiku diantara mereka. Aku kembali menjadi terkenal, disanjung teman-teman, menjadi seseorang yang di dambakan. Sedangkan dia, dia terjatuh, jatuh ke dalam jurang dalam yang ku ciptakan dari sebuah informasi bohong.
****
Aku memperhatikan layar ponselku, dengan menggunakan akun palsu aku mengawasi targetku. Kolom komentar laman miliknya dipenuhi oleh caci maki. Aku tersenyum puas, menghentakkan kedua kaki dengan gemasnya. Aku tidak menyangka kalau sebuah informasi yang tampak tidak berguna bisa merubah hidup seseorang, atau bahkan digunakan sebagai senjata.
Melihat Langsung
Saat disekolah, masih di hari yang sama, aku melihatnya sedang makan-makan di kantin. Aku bisa mendengar perbincangan orang-orang disekitarnya walau samar-samar. Mereka semua membicarakan keburukannya. Dia menyeka wajahnya, lalu dia pergi meninggalkan makanannya yang bahkan belum habis setengah. Dalam hati, aku senang.
Di waktu lain, aku melihatnya duduk sendirian di sudut lorong, tertunduk, dengan rambut panjang acak-acakan. Beberapa teman-teman berjalan melewatinya dan masih sempat melemparkan sampah-sampah dengan keras ke wajahnya. Dalam hati, aku tersenyum.
Masih di hari yang sama. Aku melihatnya baru keluar dari kamar mandi dalam kondisi basah kuyup. Orang-orang yang melihatnya hanya mentertawakannya. Sampai akhirnya seorang guru datang dan memberikannya pelukan, dia menangis dalam pelukannya. Dalam hari, aku bahagia.
Hari lainnya di sekolah, dia sepertinya tidak masuk hari ini. Aku menggunakan kesempatan ini untuk mempererat koneksiku dengan teman-teman. Ku dengarkan cerita mereka, bersifat sependapat dengan mereka. Cerita mereka kebanyakan hanya tentang keburukan si dia, semuanya keburukan itu sudah ku tahu, yang mereka tidak tahu adalah, akulah yang membuat-buat keburukan-keburukan itu. There's nothing personal, it's just for fun.
Titik Balik
Aku berjalan melewati koridor sekolah yang sedang kosong tidak seperti biasanya. Aku mencoba menikmati kesendirianku, suasana disini entah kenapa membuatku merasa damai, merasa seperti... tidak ada yang harus kupikirkan, sampai akhirnya sebuah suara mengganggu ketenangan ini.
Aku menuju ujung lorong, dari balik belokan aku mengintip. Ternyata dia, dia sedang ditertawakan karena dia sudah basah kuyup, dia sendiri tidak melawan. Aku tidak terlalu mempedulikannya dan mengambil jalan arah sebaliknya.
Aku sedang melewati koridor depan kelasku, lagi-lagi dia ada disini entah bagaimana caranya. Dia sedang diserang oleh teman-temanku, rambut panjangnya itu berubah jadi acak-acakan, dia ditarik hingga terjatuh. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman melihat dia diserang seperti itu, padahal aku membencinya.
Aku mempercepat langkahku, melewati bagian lain sekolah. Hingga akhirnya tanpa kusadari, ternyata dia sudah berdiri di hadapanku. Dia berjalan melewatiku sambil menangis, dia tidak menyadari keberadaanku seakan aku tidak disini. Sementara di belakangnya tampak teman-temanku melontarkan celaan mereka.
"Dasar jalang!"
"Lo mending pergi! Jangan ikutan ngotorin sekolah ini!"
Di belakang mereka, aku melihat diriku. Ini tidak seperti saat kau melihat dirimu di cermin karena bayanganku itu tidak memiliki grak-gerik yang sama denganku, karena dia aku sampai-sampai merasa terpaku. Dia berdiri disana dengan tenang, wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Tetapi, tangan kanannya perlahan menunjuk kearahku dari sela-sela teman-temanku. Mulutnya bergerak, ekspresinya berubah seperti sedang menahan tangis, matanya berkaca-kaca. Entah kenapa, aku bisa mendengar suara bisikannya.
"Kau jahat."
"Kau jahat."
"Kau jahat."
Aku langsung berbalik, berlari secepat mungkin, aku menutupi kedua telingaku dengan tanganku. Bisikan tadi menghantuiku, aku sudah tidak peduli lagi mau lari kemana. Aku menutup mataku, tidak tahu harus apa.
Aku merasakan sebuah hembusan angin, aku langsung menghentikan langkahku, lalu ku buka mataku. Aku sedang berdiri di taman depan sekolah, teman-temanku sedang duduk-duduk bersantai, sama seperti sebelumnya mereka tidak menyadari keberadaanku. Sementara itu dia baru saja datang.
Tiba-tiba sebiji batu menghantamnya, dia terjatuh, kepalanya berdarah, dia berteriak dalam sunyi, tanpa suara. Sementara teman-temanku tadi melarikan diri.
Dia terbaring di tanah, aku terpaku di tempatku tidal tahu harus melakukan apa. Kawan-kawan dari PMR berdatangan dari belakangku sambil membawa tandu. Dia tadi langsung di tandu oleh mereka melewatiku, tanpa menghraukanku. Jauh diseberang sana, aku kembali melihat diriku, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku perlahan mundur tanpa mengalihkan pandanganku, sementara dia melangkah maju mengimbangi kecepatanku. Menjaga jarak antara kami berdua.
Tiba-tiba dia berlutut seakan sudah tidak sanggup lagi berdiri. Dia menunjukku dengan salah satu tangannya, memperlihatkan setengah wajahnya. Wajahnya pucat, kelopak matanya menghitam seakan sudah lama tidak tidur, rambutnya acak-acakan. Mulutnya bergerak dengan pelan. Aku langsung menutup mataku dan menutupi kedua telingaku.
"Minta maaflah."
"Minta maaflah."
"Minta maaflah."
Aku terus menutup mata dan telingaku, sampai akhirnya suara bisikan itu lenyap, tidak terasa lagi ada hembusan angin. Perlahan, aku membuka mata dan telingaku. Entah bagaimana, tetapi sekarang aku sudah berdiri di depan ruang UKS. Banyak orang berkumpul disini entah kenapa, melihat kedalam lewat jendela, tetapi tidak seorangpun mencoba membuka pintunya. Aku melangkahkan kedua kakiku dengan perlahan, setiba di depan pinti itu, kuputar perlahan gagang pintunya.
Kedua kaki ku bergemetar lemas sampai-sampai aku terpaksa bersimpuh. Aku mencoba menahan rasa mualku, aku mencoba menahan air mataku. Akan tetapi emosiku menang, sekarang aku hanya bisa menangisinya. Dia tinggal nama, dia sudah tiada, tubuhnya menggantung di tengah ruangan dengan tali yang mengikat lehernya. Aku tidak sanggup melihatnya, tetapi tubuhku membeku, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku.
"A-aku minta maaf,"
"Maafkan aku,"
Tubuhku kembali melemas, aku menekan perutku, menutup mulutku dengan tanganku. Aku menahan rasa mual ini, sesuatu yang cair mau keluar dari mulutku.
Aku tidak tahan lagi, aku memuntahkannya, yang keluar dari mulutku adalah darah, darah yang menghitam karena perbuatan burukku. Aku hanya bisa menangis histeris, meneriakan permintaan maafku pada jasadnya tanpa ada seorangpun yang mendengar.
****
Kilas Maju
Satu jam telah berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan.
"Maaf."
Di tanganku ada serangkai bunga.
Ku letakkan rangkaian bunga di depan batu nisan itu.
****
Mereka sudah tahu, kini giliranku yang merasakannya.
Aku dihina, diserang, di pukuli, di cabik-cabik.
Tidak ada yang peduli.
"Tidak apa-apa," batinku.
"Aku memang salah, aku pantas mendapatkan ini."
****
Papa dan Mama sekarang tahu.
"Aku menyesalinya, mama."
"Papa, maaf, tapi aku tidak tahu jika akhirnya akan seperti ini."
"Maaf."
****
Sehari telah berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan. Sekarang di latar belakang, ada kabut putih.
"Maafkan aku."
Di tanganku ada serangkai bunga.
Ku letakkan rangkaian bunga di depan batu nisan itu.
****
Aku pindah sekolah.
Aku hanya sekedar memperkenalkan diri, aku tidak bisa punya teman. Aku hanya akan bisa menyakiti mereka.
Kadang, dia muncul dalam mimpiku. Menagih permintaan maafku dari seberang sana.
****
Ini berat.
Aku masih terbayang tubuhnya yang menggantung, dengan tali di leher.
Wajahnya...
Aku tidak ingat bagaimana rupanya.
****
Seminggu telah berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan. Di latar belakang, masih ada kabut putih.
"Maafkan aku, aku menyesalinya."
Di tanganku ada serangkai bunga.
Ku letakkan rangkaian bunga di depan batu nisan itu.
Kabut putih itu mendekat.
****
"Ku mohon pergilah dari hidupku! Aku sudah meminta maaf padamu!"
"Aku mohon..."
****
"Hei, kalian dengar cerita itu? Berita tentang gadis yang bunuh diri di UKS tahun lalu? Ternyata dia pelakunya."
"Eh, eh. Jangan dekat-dekat sama dia."
"Bukannya aku sok atau apalah, tapi dia itu jahat banget."
Bisikan-bisikan. Aku bisa mendengarnya, lagipula aku masih disini.
Tidak apa-apa, itu semua benar.
Hukumlah aku jika kalian mau.
****
Sebulan telah berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan. Di latar belakang, masih ada kabut putih yang sama.
"Maafkan aku, aku mohon."
Di tanganku ada serangkai bunga.
Ku letakkan rangkaian bunga di depan batu nisan itu.
Kabut putih itu semakin mendekat.
****
Wajahnya, aku tidak bisa mengingatnya.
Rasa bersalah ini menggerogoti, memutilasiku.
Aku menyesal, tetapi sudah terlambat.
Andai aku tahu.
Minuman ini rasanya enak, sangat enak. Aku sudah menghabiskan dua botol sejauh ini.
Tidak ada lagi bayang-bayang dan siluetnya menghantuiku.
Rasanya aku melayang, terbang diantara awan.
Rasanya perutku sudah tidak tahan.
****
"Oh, astaga."
"Kepalaku,"
Dia menenggak minuman itu lagi.
"Ha! Ha! Ha! HAHAHA!"
Di mata gadis itu, dunia yang sudah busuk ini menjadi semakin busuk. Seperti dirinya.
Lucu saja, akhirnya dia bisa berbaur dengan dunia ini, dengan semua kebusukannya.
Atau, mungkinkah dia yang telah membuat dunianya membusuk?
****
Setahun telah berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan. Di latar belakang, masih ada kabut putih yang sama.
"Maafkan aku, aku... aku sungguh minta maaf."
"Aku menyesalinya."
Di tanganku ada serangkai bunga.
Ku letakkan rangkaian bunga di depan batu nisan itu.
Kabut putih itu menjadi semakin dekat lagi.
****
Aku berjalan melewati sebuah lorong.
Lorong ini baunya sama seperti diriku, rupa penampilannya sama seperti diriku, arahnya mungkin juga sama seperti diriku.
Busuk, kotor, dan kebingungan.
Di tanganku, aku memegang seikat tali.
****
Aku mengikatkan kedua ujung tali itu ke tempatnya.
Aku berdiri di atas sebuah kursi.
Aku akan melenyapkan rasa bersalah ini. Semoga kita bisa bertemu.
Aku menjatuhkan diriku.
****
Realita ini bahkan tidak membiarkan diriku mati. Di mana api-api itu? Di mana siksaan itu? DIMANA?
Di sinilah aku berlutut, kedua kakiku melemas.
Di depanku, aku bisa melihat diriku, menggantung. Lehernya terikat, tubuhnya berayun dengan tenang, sementara nyawa yang dulu menghuni tubuh itu berlutut disini.
Realita ini bahkan tidak membiarkanku mati. Aku hanya berubah wujud, berpindah wadah. Tetapi setidaknya tidak akan ada yang bisa melihatku.
Akhirnya aku bisa menyendiri.
Tolong, tinggalkanlah aku.
Tolong, temuilah aku.
****
Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
Sekarang aku berdiri sendirian, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan. Di latar belakang, masih ada kabut putih yang sama.
"Kau mungkin sendirian disini, jadi aku akan menemanimu."
Aku sudah berada di dalam kabut putih itu.
Batu nisan itu menghilang.
****
Pengingat
"Hei! Kemana kau pergi!?"
"Tolonglah..."
"Aku..."
Gadis itu berlutut dengan kedua kakinya yang sudah lemas. Dia menangis, air mata membasahi pipinya.
Rambut yang menutupi wajahnya dihembuskan oleh angin, menampakkan wajahnya. Kantong matanya menghitam, matanya memerah, wajahnya dipenuhi oleh debu-debu hitam.
"Aku... aku sungguh minta maaf."
****
Jauh didepan, didalam kabut, ada dua siluet yang serupa.
Aku melangkahkan kakiku dengan pelan, masih dalam ketakutan, mendatangi dua siluet itu.
Aku bisa mendengar suara mereka, samar, tapi mengisyaratkan ada sebuah pertengkaran.
Mereka berdua berdiri disana, tidak jauh tetapi tidak juga dekat.
Diriku, dua diriku. Mereka berdua saling berargumen, tetapi aku tidak bisa mendengar apa yang mereka pertengkarkan.
****
Darah. Darah. Darah!
Aku melihat darah. Dia membunuhnya dengan pisaunya, menancapkannya di kepala hingga ia mati bersimbah darah.
Aku melangkah mundur, perlahan.
Dia menatapku.
Sial! Sekarang dia berlari ke arahku.
Dia mengacungkan pisaunya ke arahku.
Aku lari, lari entah kemana ditengah kabut ini.
"Arggh!" Aku terjatuh.
Dia semakin mendekat, dengan pisaunya yang sudah basah oleh darah.
Wajahnya mengisyaratkan kesenangan.
Ya, bunuhlah aku. Bunuh aku. Aku pantas mendapatkannya.
Aku menutup mataku.
****
"Argh!"
"Ahhh!"
"Jangan kau ganggu dia!"
"Dia harus mati!"
"Kaulah yang harus mati!"
Perlahan aku membuka mataku. Aku masih di tempat yang sama, di tengah kabut, di depanku ada sesosok gadis, serupa dengan diriku.
Dia duduk lemas di depanku, tangannya, pakainnya, semuanya basah oleh darah. Kepalanya, kepalanya juga meneteskan darah dari lubang tusukan itu. Darah itu membasahi setengah wajahnya, aroma besinya bisa tercium. Dia tersenyum padaku.
"Hei, sadarlah," ujarnya pelan.
Entah bagaimana, sekarang aku di UKS. Mayat itu, masih menggantung di tempat yang sama, sudah tidak benyawa.
"Hei, sadarlah," sebuah suara yang ku kenal mengucapkan itu.
Diriku... diriku yang lain. Dia melangkah keluar dari belakang mayat yang menggantung itu.
****
Entah bagaimana, sekarang aku berbaring di kamarku. Kedua tanganku masih memegang ponselku, dengan pesan setengah selesai yang kukirimkan pada waktu itu. Pesan yang memulai segalanya.
"Kau harus bangun," ujar sebuah suara ramah yang ku kenal.
Dia... diriku yang lain. Dia berdiri di pojok kamarku.
****
Rasanya seperti baru kemarin.
Sekarang aku berdiri sendirian, di dalam kabut, tidak ada siapa-siapa disini selain aku.
Di depanku, ada sebuah batu nisan.
"Mati karena tenggelam dalam penyesalan." Kalimat itu tertulis di batu nisan itu.
Aku baru menyadarinya, itu adalah batu nisanku. Aku mungkin benar-benar sudah mati.
Inilah siksaanku, mengulangi hari-hari itu. Mengulangi semua degradasiku.
"Hei, kau belum mati," ujar sebuah suara lembut yang ku kenal.
Dia, diriku yang lain. Dia muncul dari balik kabut. Pakaian yang sama persis, rambut panjang yang sama persis, wajah yang sama persis, masih dengan luka dari waktu itu. Hanya saja... suara itu, aku mengenal suara itu, hanya saja... aku tidak pernah berbicara selembut itu.
"Kau-"
"Ya, aku adalah dirimu. Atau bisa dibilang personifikasi dari sisi baikmu," Dia menjawab sebelum aku bisa meneruskan pertanyaanku.
"Naratif ini... aku yakin mungkin naratif ini akan mengajarimu sesuatu," Sambungnya.
"Nah... sekarang, minta maaflah."
****
Entah bagaimana, sekarang aku berada di tengah sebuah taman. Sendirian, ditengah kegelapan, hanya ada lampu-lampu taman yang redup memberi cahaya disini.
Aku melihatnya, ia berjalan sendirian, disana. Aku melangkahkan kedua kakiku untuk mendatanginya.
Sebuah cahaya yang menyilaukan datang, tetapi aku tidak peduli. Walau cahaya itu akan membutakan dan membakarku, aku tidak peduli.
Aku harus mendatanginya.
****
Kata Maaf
"Udah pokoknya beritau aja aku dimana rumahnya!" teriakku ke ponselku.
Aku langsung berlari keluar rumahku, kutunggangi sepedaku, ku kayuh secepat yang kubisa. Tidak peduli ini sudah jam berapa, tidak peduli walau sang surya sudah tidak menerangi dunia, aku tetap mengayuh sepedaku, melewati jalanan, melewati barisan rumah-rumah.
****
Ku ketuk pintu rumahnya, setelah aku dibukakan pintu. Ku sampaikan maksud kedatanganku kesini adalah mencari dia, semuanya kucapkan dalam satu tadikan nafas walau aku masih tersengal-sengal.
"Oh, dia. Dia tadi keluar, katanya mau membeli sesuatu, tunggu aja dulu,"
"Dia pergi ke toko mana?" aku tidak mau menunda ini lagi.
Bibi itu mengatakan lokasi tokonya yang dekat dengan taman komplek. Aku langsung mengucapkan terima kasihku, lalu langsung pergi bersama sepedaku. Ku kayuh sepedaku melewati jalanan komplek, sampai akhirnya aku menemukan taman dan toko itu. Dia tidak ada disini.
Saat aku kembali melewati taman itu, aku melihat sebuah siluet berdiri ditengah taman, luput dari sinaran cahaya lampu taman. Aku merasa kenal dengan siluet itu, tanpa peduli aku langsung meninggalkan sepedaku dan mengejar siluet itu.
Saat dia kena sinaran cahaya, tampaklah siapa dia sebenarnya. Itu memang dia, dia berbalik karena menyadari keberadaanku. Aku menampakan diriku dengan ikut bediri dibawah cahaya. Dia tampak terkejut dengan kedantanganku.
"Kau... apa yang kau lakukan disini?" tanya dia.
Aku melangkahkan kaki ku kearahnya, aku mencoba menahan emosi ini, sesekali menyeka air mata yang tidak tertahankan ini, dia yang belum mengetahui kenyataannya tidak tahu harus bersikap apa, bingung harus apa menghadapi diriku ini.
"Hei, ma-maafkan aku ya..."
"A-Atas apa?"
"Atas semua yang sudah terjadi padamu selama ini, maaf ya..."
"A-apa kau yang melakukan semua ini?"
"Ya,"
Aku menerima rasa sakit itu, sebuah tamparan langsung ke wajahku. Aku menunduk ke bawah, aku tidak sanggup memandang wajahnya. Aku bisa mendengar suara tangisnya, aku bisa merasakan amarahnya.
"Kenapa?"
"A-aku tidak tau,"
Aku memberanikan diri menatap wajahya. Dia menyeka air matanya, dia menatapku dengan penuh amarah, alisnya membengkok ke bawah, mulutnya sedikit membuka seakan mau bicara tetapi tidak tahu harus bicara apa.
"A-aku mau pulang," ujarnya, lalu dia berbalik.
Aku langsung memegang tangannya, menghentikan langkahnya. Dia tampak masih menyeka air matanya, terdengar suara sesenggukan pelan yang dia tahan.
"Kau mau memaafkanku, kan?"
"Aku sudah memaafkanmu," ujarnya sambil melepaskan tangannya dari peganganku. Nada suaranya terkesan dingin dan tanpa emosi.
"Sekarang, biarkan aku pulang," sambungnya pelan, lalu dia melangkah pergi.
Aku duduk bersimpuh di tanah, menahan tangisku, menutupi wajahku. Aku tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah ini. Aku menyesali ini, tetapi apa yang bisa kulakukan untuknya? Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku ini? Tidak peduli angin malam yang dingin menusuk tulang, tidak peduli aku sedang duduk ditengah kesunyian yang begitu luas, aku tidak bisa meredam emosi ini. Aku merasa sudah tidak sanggup untuk melangkah pergi dari tempat ini. Rasanya seakan seluruh kesalahanku sudah menjadi beban bagi tubuhku.
****
Epilog
Mataku terasa lelah, bahkan keriuhan di sekolah ini tidak cukup untuk membangunkan ragaku.
Apapun yang terjadi malam tadi, aku tidak bisa melupakannya. Aku berharap kami bisa bertemu hari ini, aku akan minta maaf padanya, lagi.
Di depanku sudah terlihat pintu kelas ku, untuk suatu alasan aku merasa ada yang salah, aku merasa seperti... ada sesuatu yang salah yang tidak bisa kujelaskan. Pintu kelas itu tertutup, tidak terdengar tidak terdengar suara apapun dari dalam.
Perlahan aku membuka pintu itu. Aku langsung menutup mataku.
Aku terjatuh karena didorong.
"Rasain lo!"
"Keluar sana, bersihin diri sendiri sana! Jijik gua ngeliatnya!"
Baju dan wajahku basah kuyup, lantai di bawahku basah, ada sebuah ember terbalik di depanku. Kurasa ini adalah pembalasanku yang sebenarnya.
****
Aku membersihkan wajahku dengan air. Untuk suatu alasan wajahku terlihat lebih lelah di cermin. Ruang toilet disini terasa gelap, aku tidak merasa sendirian disini.
Benar saja, di cermin tampak seseorang keluar dari bayangan dibelakangku. Wajahnya tampak familiar, dara yang mengucur di wajahnya juga tampak familiar, entah kenapa aku tidak merasa ketakutan dengan keberadaannya.
"Kau..."
"Sisi baik mu, ya, itu aku," jawabnya dengan santainya.
"Kau tidak nyata," jawabku menatapnya dari cermin.
"Aku senyata pikiran dan jiwamu,"
"Kenapa kau datang kesini?"
"Maafkan aku, tetapi aku tidak bisa mencegahnya..."
"Ma-af-kan-a-ku,"
Mulut dan lehernya mengeluarkan darah, dia terjatuh, batuk-batuk tersedak oleh darahnya sendiri. Aku langsung berbalik, dan aku menemukan wajah lain yang tidak kalah familiar keluar dari bayangan.
"Ka-kau ti-tidak nyata!"
Dia menyingkap sedikit rambut yang menutupi wajahnya. Wajahnya sama sepertiku, tetapi lebih pucat seakan darahnya sudah kering.
"Seperti yang tadi dia bilang, aku senyata jiwa dan pikiranmu,"
Senyumnya, lengkung bibirnya, caranya menatapya, semua tentang dirinya... rasanya aku sudah terlalu lemah untuk berdiri.
"A-apa yang akan k-kau lakukan?" walau dalam rasa takut, aku melontarkan pertanyaan itu.
"Mari kita ulangi semuanya,"
****
Repetisi
Aku membuka mataku. Tiba-tiba aku sudah duduk di tengah kelas. Suasananya terasa santai, banyak teman-temanku sedang berbincang santai atau bercanda ria. Kurasa semua tadi hanya ilusi belaka.
Aku mendengar ada bisikan-bisikan, sekilas aku bisa mendengar namaku dalam bisikan-bisikan mereka, aku merasa ada seseorang yang menyebarkan gosip buruk tentangku.
"Hei, kau!"
"E-eh, ya? Apa?" jawabku terkejut.
"Kasus ini," dia menunjukkan sebuah berita dari ponselnya. "Apa kau terlibat dalam kasus ini?"
"A-Aku..."
"Ayo jawab!"
"Y-ya, a-aku terlibat dan aku menyesalinya!"
"Cih, dasar sampah!"
Dia mendorongku dari bangku ku, tanganku mencoba menggapai lantai, mataku menutup mengantisipasi rasa sakit yang akan datang.
****
Tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku basah. Aku membuka mataku...
"Arghh!"
Aku tidak sempat menghindari lemparan tadi, ada yang menetes dari kepalaku. Ku sentuh tetesan itu, tetesan tadi menyisakan darah di tanganku.
"Ha! Ha! Rasain lo!"
"Dasar sadistik!"
Mereka berdua pergi dari depan pintu itu, meninggalkan aku sendirian di lorong gelap ini, hanya pintu itu saja yang memberi cahaya.
Aku mencoba berdiri, walau tubuhku basah kuyup, kedua kakiku lemah, dan kepalaku sakit terluka, aku tetap mencoba berdiri.
"Maaf, kelas sudah ditutup," ujar sebuah suara yang tidak asing.
Di sanalah dia berdiri, tepat di mulut pintu itu. Rambutnya sedikit menutupi wajahnya, tetapi wajahnya begitu tidak asing.
"Tidak..."
"Ku mohon, tidak!"
Gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa disini, hanya ada hitam pekat sejauh mata memandang, bahkan aku tidak bisa melihat tanganku sendiri. Rasanya begitu tenang disini, begitu sunyi, begitu... sendirian.
Aku duduk, memeluk kedua kakiku, menggenggam tanganku dalam kegelapan ini.
Aku merasa ada sesuatu di tanganku.
****
Lampunya menyala, aku menemukan diriku sedang duduk di sebuah ruangan yang tampaknya adalah ruang karaoke, tetapi aku tidak yakin, di tangan kananku ada gelas anggur yang kosong. Pengelihatanku buram, kepalaku rasanya berat sekali, pendengaranku rasanya teredam, aku yakin bisa mendengar suara tawa sekumpulan laki-laki.
"Kau mau lagi?" suara itu samar-samar terdengar.
Sebuah tangan menuangkan minuman ke gelas di tanganku.
"Ah... tidak, aku... tidak lagi..." mulutku terasa berat.
Dia memaksaku meminumnya, rasa manis asing dari minuman itu membuat kepalaku terasa semakin berat, rasanya sulit sekali menjaga mataku terbuka, aku bisa mendengar tawa, tawa yang membuatku merinding.
"Aku... tidak... boleh..."
Di antara sosok yang buram itu, hanya ada satu yang bisa kulihat jelas. Itu dia, gadis itu, diriku yang lain, dia tersenyum padaku, senyum jahat itu...
"Ku mohon..."
"Ku mohon..."
****
"Argh!"
Aku terbangun.
Aku masih bersandar di dinding lorong.
Aku mencoba berdiri walaupun kedua kakiku lemah sekali.
Aku mencoba berjalan menuju ujung lorong, ada sebuah cahaya disana.
Cahayanya semakin dekat, terdengar keriuhan kota dari sana.
Aku yakin ini semua tidaklah nyata.
Aku sudah berdiri di tepian, dibawah tampak gemerlap kota, tidak mempedulikanku.
Aku yakin ini semua hanya ilusi belaka.
"Tetapi bagaimana jika ini semua bukanlah ilusi belaka?"
"Apa yang?"
"Sampai jumpa!"
"Tidak! Tidak lagi!"
Aku menutup kedua mataku, menerima takdir ini.
****
Tidak terasa apa-apa.
Mulai terdengar keriuhan yang tidak terasa asing.
Perlahan, ku buka mataku.
Aku sudah kembali di kelas, teman-teman di kiri-kananku sedang berbincang santai atau bercanda ria. Jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi, masih belum ada guru yang datang. Kurasa aku tadi hanya sekedar melamun.
Tiba-tiba seisi kelas menjadi diam, semuanya alngsung duduk ke bangku mereka masing-masing, dari pintu masuk seorang perempuan. Dia mengenakan kacamata, dengan rambut diikat poni kebelakang, seragam yang kenakan terasa familiar, kurasa aku benar-benar sudah kembali ke dunia nyata.
Ibu guru di depan meletakkan bukunya di mejanya, dia berdiri disana dengan tangan kanannya di pinggang, dan tangan kirinya bersandar di meja, menumpu beban tubuhnya. Aku merasa sangat familiar dengan ibu guru yang satu ini.
"Hukuman yang tidak proporsional itu ada, dan itu sering terjadi. Beberapa harus dipertanyakan, beberapa lagi bisa di justifikasi untuk dengan suatu alasan," dia membuka mata pelajarannya dengan kalimat yang terasa aneh ditelingaku.
Dia mengambil sebuah koran dari tumpukan buku di mejanya, lalu dia melangkah ke depan mejaku. Dia meletakkan lembar koran itu didepanku, menampilkan tajuk berita halaman pertama.
"Seorang gadis ditemukan gantung diri di sekolah, diduga korban perundungan"
Dengan lembutnya dia membalik halaman koran itu, menampilan tajuk berita di halaman kedua.
"Seorang gadis ditemukan gantung diri di sebuah bangunan kosong, diduga bunuh diri karena depresi"
Judul-judul betita yang diperlihatkannya terasa terlalu familiar bagiku.
"Seorang gadis ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di toilet sekolah, diduga dibunuh oleh temannya"
Dia membalik halamannya lagi...
"Seorang gadis ditemukan pingsan tanpa busana di sebuah karaoke, terdapat tanda-tanda pelecehan seksual"
...dan lagi...
"Seorang gadis tewas setelah jatuh dari lantai 21 apartemen, antara bunuh diri atau dibunuh"
...tidak lagi.
"Diduga berhalusinasi karena depresi, seorang gadis terpaksa di rawat di rumah sakit jiwa. Dokter berkomentar 'Dia sudah tidak bisa ditolong lagi'"
Ibu guru tadi melangkah mundur menjauh dari mejaku. Dia melepas kacamtanya, menjatuhkannya, lalu menginjaknya hingga pecah. Dia juga melepas ikatan rambutnya, membiarkannya terurai begitu saja.
"Oh... jadi begitu..."
Wajah ibu guru menjadi sangat familiar. Dia adalah aku, sisi lain diriku, sisi tidak warasku.
"Ini semua tidak nyata..."
"Aku senyata jiwa dan pikiranmu, sayang," jawabnya dengan senyum jahatnya.
"Aku tidak akan pernah bosan dengan repetisi ini.
****
no.context.txt
aku...
aku minta maaf...
aku...
aku tidak bisa membawamu kembali...
****
kau tau?
kau pantas mendapatkannya.
aku adalah bagian dari dirimu.
dan aku juga yang akan menghukum dirimu.
****
aku tidak tau...
tetapi, setelah semua itu...
aku pikir...
aku tidak bisa memaafkanmu...
sampai jumpa di seberang sana.
****| END |****
Yo, ini aku, dan ya, akulah penulis cerita ini. Cerita ini di publikasikan langsung dari draft final, tidak ada proses editorial. Boy, this is going to be the long one since there's so many things to explain.
BalasHapusPertama, kenapa cerita ini di tulis?
Pada awalnya cerita ini terinspirasi dari beberapa anime, yang akan di jelaskan di bawah. Namun, bab-bab lainnya seperti "Kilas Maju," "Pengingat," dan bab semisal ditambahkan setelah draft awal selesai, sebagai bagian dari eksperimen pribadi untuk menulis cerita horor. Lebih singkatnya, awalnya cerita ini berada di spektrum "soft horror," setelah itu berubah menjadi "psychological horror" karena mengikuti kondisi mental antagonis kita yang semakin memburuk, dengan sebuah twist. It's a runaway writing experiment gone horribly right/wrong, depends on how you see it.
Kedua, tantangan dalam penulisan.
Tantangan utama dalam menulis ini adalah bagaimana cara mengimplikasikan bahwa ada "hal-hal buruk yang tidak seharusnya terjadi pada siapapun" terjadi pada karakter utama kita, si pembully. Aku harus menggunakan innuendo, kiasan, dan juga menulisnya secara eksplisit. Aku juga mencoba menutupi ke eksplisitannya dengan memperpendek beberapa paragraf. Selain itu, aku juga kadang sempat mimpi buruk dan kadang tidak bisa tidur selama proses penulisan, teringat dengan bab "Pengingat" dan sosok "sisi buruk" antagonis. Ini merupakan cerita paling kompleks dan rumit yang pernah ku tulis sampai saat ini, hanya karena kesulitan ini. It was mentally exhausting.
Ketiga, durasi penulisan.
Draft awal selesai di 30 April 2020. Elemen-elemen horror mulai di tambahkan dari 10 Oktober 2021, dengan draft final selesai pada 23 Juni 2022. Bagaimana aku bisa ingat? Riwayat tanggalnya ada di laptop dan di Google Drive ku.
Keempat, inspirasi dan gaya tulisan.
Overall, cerita ini (surprise, surprise) terinspirasi dari anime Serial Experiment Lain dan A Silent Voice dan Elfen Lied (ini akan di jelaskan di bawah). Kenapa? Karena cerita ini menggabungkan elemen-elemen surealisme, khususnya di bab "Kilas Maju" dan "Pengingat." Untuk inspirasi dari A Silent Voice itu sendiri bisa terlihat jelas dari karakter utama cerita ini yang sangat, sangat, sangat merasa bersalah atas perundungan yang ia lakukan. Pada awalnya, cerita ini berakhir di bab "Kata Maaf," akan tetapi setelah menonoton Serial Experiment Lain, dan menulis cerpen lain yang juga terinspirasi dari anime itu, aku terpikir untuk mencoba mengaplikasikan apa yang ku pelajari dari cerpen pertama, dan mulailah ekspansi cerita ini.
Kelima, tema.
Cukup singkat, tema utamanya adalah rasa bersalah. Pada awalnya ceritanya cukup singkat, tetapi setelah menonton Elfen Lied, aku merasa aku bisa mengaksentuasi tema ini lewat rangkaian bab "mimpi buruk." Pada dasarnya, Elfen Lied memberiku inspirasi untuk membuat cerita ini menjadi semakin kelam. Lalu, terjadilah It's a runaway writing experiment gone horribly right/wrong, depends on how you see it.
Apakah aku bangga dengan cerita ini? Ya, dan tidak. Ya, karena cerita ini masih menjadi cerita paling kompleks dan rumit yang pernah ku tulis. Tidak, karena tema dan penggambaran hal-hal eksplisit di dalamnya. Aku berharap bisa menulis ulang cerita ini dengan lebih sensitif, tetapi, aku tidak mau menulis ulang cerita ini, lagi. Aku tidak bisa dan tidak ingin, it's enough.