Re: Monokromatik

Kilas mundur ke masa lalu lewat beberapa kedipan.

Re: Monokromatik by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0

Bagian dari PERSONAL


Laki-laki itu memegang erat stang motornya, terperangkap diantara kendaraan-kendaraan lain. Langit mulai menghitam karena matahari mulai tenggelam, orang-orang di sekelilingnya tampaknya sudah tak sabar, terus membunyikan klakson, lalu lintasnya sudah terhenti selama berjam-jam.

Matanya terus mengamati ke sekeliling dari balik pelindung helmnya. Sampai akhirnya, ia melihat mereka, dan tiba-tiba mereka ada di mana-mana.

Tiba-tiba ia menjadi sadar akan keberadaan pasangan-pasangan di sekitarnya. Matanya terus melompat, ke pasangan yang sedang berboncengan, ke pasangan yang duduk bersebelahan di dalam mobil, seakan kemacetan ini dipenuhi oleh mereka.

Ia menghembuskan nafas, pelan dan panjang.

Ia menutup matanya untuk sesaat, kemudian di saat ia membuka matanya, dunia kehilangan warnanya. Kemudian ia mengedipkan matanya, dan sekarang yang tersisa di sekitarnya hanyalah sekumpulan siluet putih.

“Kau sudah terbiasa menyendiri,” bisiknya.

Pasangan-pasangan itu, mereka semua lenyap. Nyatanya, seluruh dunia menghilang dari pandangannya, digantikan oleh sebuah pemandangan yang tidak nyata.

Ia berkedip.

Kematian. Ia berdiri di tanah lapang yang abu-abu, monokromatik, berdiri di antara dua makam. Di batu nisannya tertulis “Maaf karena aku melupakanmu, Ibu” dan “Aku bahkan tidak bisa lagi mengingat suaramu, Ayah.”

Ia berkedip lagi.

Tertinggal. Ia berdiri di tengah ruangan tanpa warna. Bersamanya ada sebuah siluet putih, sedang melakukan kesehariannya. Siluet itu bergerak begitu cepat seperti sebuah film time lapse, dan siluet itu tidak peduli akan keberadaannya.

“Tidak apa-apa, kau tidak perlu menungguku.”

Ia mengedipkan matanya.

Tak terbalas. Ia duduk di sebuah ruangan yang tak berwarna. Di depannya, ada sesosok siluet seorang perempuan. Perlahan, siluet itu melangkah pergi menjauhinya.

“Tidak apa-apa, aku menerima keputusanmu.”

Lagi, dia mengedipkan matanya.

Tak terlihat. Ia berdiri di tengah pesta yang hampa akan warna. Semua orang tampak sedang berdansa, tetapi tidak ada musik yang bisa di dengar. Semua orang tersenyum dan tertawa, kecuali dia.

“Aku tidak perlu memaksakan kebahagiaanku.”

Dia menutup matanya. Perlahan, kelopak matanya bergerak, membuka, menunjukan pupil dan putih matanya.

Kosong. Ia berdiri di tengah kehampaan, tak terlihat, tak tersentuh oleh cahaya, memeluk kegelapan. Tidak ada apa-apa di tempat konseptual ini selain dirinya. Ia mengambang, tenggelam ke dalam gelapnya ketiadaan.

“Aku tidak perlu diinginkan. Aku ada, dan aku nyata.”

Ia berkedip.

Ia masih mengendarai motornya. Tatapan matanya kosong, nafasnya berat namun teratur. Sekali lagi dia mengedipkan matanya.

Sekejap mata, dunia kembali berwarna, tidak lagi abu-abu. Siluet di sekelilingnya berubah menjadi orang-orang. Lalu lintasnya masih tidak bergerak, suara klakson masih bisa terdengar di sana-sini.

Ia menarik nafas dalam, perlahan ia menghembuskannya. Ia mengedipkan kedua matanya, dan dunia masih memiliki warnanya tidak lagi berubah menjadi monokromatik.

Komentar

  1. Yo, ini aku, penulis dari cerita ini. Judul dari cerita ini "Re: Monokromatik" merupakan penanda bahwa ini adalah penggunaan ulang konsep "Monokromatik" yang juga ada di blog ini. This one of the more personal ones.

    Seperti biasa, ini di terjemahkan dari versi bahasa Inggris yang berjudul "Blinking". Masih belum di publikasikan di mana-mana, mungkin akan ku pos ke sini. Terjemahannya enggak straight forward, soalnya ada beberapa kata yang kalau di terjemahkan malah jadi dua atau tiga kata dalam bahasa Indonesia.

    I guess, that's it.

    BalasHapus

Posting Komentar