Rekam Hampa

Menyendiri, di muka bumi yang sudah mati.

Rekam Hampa by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0

Hitung mundur mulai berjalan, masih tersisa 100 hari. Peradaban berjalan seperti biasa dan tidak peduli. Hitung mundur tersisa 60 hari, misi gagal di iringi oleh doa yang tidak pernah berhenti. Hitung mundur tersisa 30 hari, tiba-tiba semua manusia menjadi anarkis dan bertarung dengan satu sama lain, hanya untuk diri sendiri. Karena kiamat jelas akan datang tidak lama lagi.

Hitung mundur habis, meteor berjatuhan membakar langit. Dunia menjadi gelap, hanya sedikit yang tersisa. Semakin jelas jika semuanya fana.

Perempuan itu terbangun. Pakaiannya lusuh, noda hitam bisa terlihat di jaket putihnya. Tangannya mendorong tubuhnya menjauhi lantai yang kotor, lalu dia mengucek matanya. Mimpi itu selalu kembali, dan dia tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi. Nama dia adalah Amanda, dan untuk suatu alasan yang tidak dia ketahui, dia selamat dari semua itu.

Dia berjalan menyusuri kota hantu. Jalannya kosong dari kehidupan, hanya ada mobil rongsok berserakan. Kakinya bergerak pelan, membawa berat tubuh dan ranselnya berjalan.

"Halo! Apa ada orang di sini?" Teriaknya.

Gema suara menjawabnya, tidak ada siapa-siapa selain dia.

Dia menemui sebuah bekas supermarket. Kaca-kaca etalasenya pecah, jadi dia melangkah pelan. Tidak ada suara lain selain nafasnya. Dia berharap bisa bertemu orang lain disini, orang lain yang sepemikiran dengannya.

"Makanan!" Serunya, sambil dia memasukkan makanan-makanan kaleng ke tasnya.

Dia berjalan semakin dalam, cahaya matahari semakin menggelap. Sampai akhirnya dia dihalangi sebuah pintu.

Jantungnya berdebar dan nafasnya menajam saat dia mencium sebuah bau busuk. Derit pintu bisa terdengar saat dia mendorong pintu itu.

"Argh!!"

Jantungnya terhenti sesaat, tanpa ragu kedua kakinya langsung membawanya lari.

Dia beristirahat di sebuah bekas toko elektronik. Mencoba menikmati makanan kaleng miliknya.

Dia terngiang kejadian di supermarket itu. Makanannya menjadi hambar. Dia teringat tubuh itu, hitam bernanah, berbau busuk, menggantung di sebuah tali. Makanannya menjadi pahit.

Dia terdiam. Dadanya terasa sesak. Hatinya tenggelam.

"Sialan!"

Kaleng makanannya menembus sebuah kaca, di ikuti oleh sebuah kilatan cahaya.

"Kenapa aku masih hidup? Apa alasannya?" Dia histeris.

Dia mengubur wajahnya di antara dua lututnya. Dadanya sesak, matanya tenggelam, hatinya pasrah. Dia menemukan seorang manusia lain, tetapi dia sudah mati. Sementara itu, makanan kalengnya tadi berhamburan di seberang ruangan, membanjir diantara pecahan kaca.

Dia terdiam.

"Apa itu tadi?" Dia mengangkat wajahnya.

Dia mendekati bekas makanya tadi. Dia ingat ada kilatan cahaya, tidak mungkin kaleng yang dia lemparkan bisa mengkilat seterang tadi.

Diantara pecahan kaca itu dia menemukan sebuah kamera. Lensanya jernih, walau layarnya bergores. Dia mengutak-atik kamera itu, dia menemukan sebuah foto.

Fotonya kabur, gambarnya tidak jelas. Akan tetapi dia mengenali siluet berjaket putih itu. Itu adalah dirinya sendiri, memendam dirinya diantara dua kakinya. Lemparannya tadi mungkin tidak sengaja membuat kamera ini memotret dirinya, sungguh sebuah kebetulan.

"Foto yang puitis," celetuknya.

Dia utak-atik lagi kamera itu. Tidak ada foto lain. Dia putuskan untuk membawa kamera itu.

Dia kembali menjelajah, semakin menjauh dari kota. Gedung-gedung disekitarnya semakin merendah, semakin mengecil. Sampai akhirnya, semuanya tergantikan oleh padang yang lengang, hanya ada satu atau dua pohon terlihat. Sementara di bawah kakinya ada jalan aspal yang tampak tidak berujung.

Dia terus berjalan, sampai akhirnya dia menemui sebuah kawah raksasa.

"Padahal pecahan meteornya jatuh dekat kota, tetapi aku masih selamat," gumamnya sambil membidikkan kameranya.

Bingkai foto yang dia ambil terkesan tenang. Sebuah pohon di kelilingi oleh dinding curam abu-abu seukuran lapangan bola. Sebuah kawah yang menampung sedikit kehidupan.

Dia melanjutkan perjalanannya.

Malam kelam mencekam. Dia berlindung dibawah sebuah rumah terbengkalai. Bisa terdengar riuh angin dan deruh hujan. Kilatan cahaya di ikuti oleh dentuman di udara.

"Andai saja aku tidak sendirian," gumamnya, dengan mata setengah tertutup.

Besok harinya dia meneruskan perjalannya.

Dia sedang menyantap seekor ikan bakar di tepi sungai, pakaiannya basah kuyup jadi dia hanya dibungkus oleh sebuah selimut. Dia sedang menyaksikan rekaman kameranya.

Di video itu dia sedang berlarian di sungai yang surut. Langkah larinya mencipratkan airnya. Ia berputar bertumpu pada satu kaki, bibirnya melengkung, hingga akhirnya tubuhnya memukulkan ombak di sungai itu. Bingkai dari momen itu bertolak belakang dengan keadaan dunia saat ini. Di bingkai itu, dia berbaring di sungai itu, airnya mengkilap bersih, tubuhnya terlihat samar diantara aliram suangainya, akan tetapi dia ingat saat itu bibirnya melengkung tipis.

"Andai saja ada orang lain yang bisa melihat video ini," gumamnya lagi.

Semakin jauh dia berjalan. Semakin banyak foto dan video yang dia ambil. Dia menggumam, dia menuliskan gumamannya, dia merekam gumamannya. Kameranya adalah temannya.

Manusia lain. Hitam bernanah, busuk, menggantung. Dia terbangun dari tidurnya. Tidur hanya beratapkan langit malam yang cerah, tidak ada awan, hanya ada bintang dan bulan.

"Mimpi itu... Tidak akan kubiarkan diriku terbenam oleh mimpi itu," gumamnya, lalu dia mengambil kameranya, menoleh balik waktu dengan menyaksikan foto-foto yang dia ambil dulu.

Berhari-hari berlalu. Semakin jauh dia berjalan. Sampai akhirnya dia menemui jalan buntu.

Kawah raksasa, tampak tidak berujung menembus cakrawala. Bawahnya hitam tertutup bayangan seakan tidak pernah berhenti tenggelam.

Dia berdiri di tepi jurang kawah itu. Tangannya memegang kameranya di tabung lensa. Jantungnya berdegup kencang saat kameranya tergelincir dari tangannya, dia menghempaskan tubuhnya ke tanah, mendorong debu-debu ke udara.

"Hampir saja..."

Dia berhasil menangkapnya, kameranya menggantung di tangannya, hampir dilenyapkan oleh kawah itu. Dia menarik kamera it kembali ke genggamannya.

"Kenapa aku peduli dengan kamera ini?" Gumamnya, sambil meletakkan kameranya di tanah, jauh dari tepi jurang.

Dia menyetel hitung mundur di kamera itu. Lalu, dia berjalan kembali ke tepi jurang. Dia duduk di tanah, dia peluk kedua kakinya, dia hadapkan tubuhnya ke kamera.

"Kurasa, karena ialah temanku," gumamnya lagi. Sesaat kemudian sebuah kilatan cahaya muncul.

Bingkai fotonya indah dan tragis. Hanya ada dia di tengah bingkai, duduk sendirian memeluk kedua kakinya seakan dia sedang memeluk manusia lain, dengan latar kawah tak berujung berwarna abu dan berbayang hitam. Ekspresinya netral, apa adanya.

"Dan aku tidak peduli walaupun tidak ada yang akan melihat semua potret dan rekaman ini," gumamnya sambil menggantungkan kamera itu ke lehernya.

Dia melanjutkan perjalanannnya yang tak berarah.

"Setidaknya aku meninggalkan suatu karya di muka bumi yang kosong ini," dia mengakhiri monolognya.

Dia berjalan mengikuti sebuah jalan aspal tak berujung. Dia bersumpah untuk terus memotret, setidaknya itulah yang menjaga kewarasannya.

Komentar

  1. Yo. Ini aku, penulis cerita ini. Cerita ini sebenarnya di tulis untuk sebuah lomba karya fiksi ilmiah dengan tema "Healthy Inside, Creative Outside," ditulis dengan fokus karakter, tapi gagal menang. But, eh, whatever, might as well get it posted here. See ya in my next story!

    BalasHapus

Posting Komentar