Teror Cahaya Pagi
Pagi hari ini akan merubah segalanya. Pagi yang ada diluar logika.
Teror Cahaya Pagi by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0
Lisensi Gambar:
Eric Chan from Hollywood, United States, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay
Detik jam ditemani suara jari-jari menusuk papan ketik, memecah keheningan malam. Cahaya redup menerangi ruangan yang gelap gulita, tempat seorang perempuan sedang bekerja, lupa dengan waktu tidurnya.
Siska duduk di kursi kantoran, menyia-nyiakan keberadaan sandaran di kursinya dengan membungkukkan badannya ke depan, menghadapkan matanya langsung dengan sinar redup namun menyilaukan dari layar laptopnya. Kelopak matanya menghitam, dan diantara putih matanya ada bercak-bercak merah.
Matanya terfokus pada angka-angka yang ada di layar, jarinya terus menusuk-nusuk papan ketik. Sesekali, ia menarik nafas panjang, lalu menguap. Sesekali, ia mengucek matanya, menahan kantuk yang mulai menyelimutinya, memberatkan tubuhnya. Namun, angka-angka itu tidak akan terhitung dengan sendirinya. Jadi, ia terus mengetik, menghitung semua angka-angka itu.
Ia memejamkan matanya sejenak, sebelum ia menghembuskan nafas panjang dan membiarkan dirinya bersandar. Matanya melirik jam dinding yang terus berdetak, kombinasi dari jarum pendek dan jarum panjangnya menunjukkan sekarang sudah pukul 4 pagi.
Dingin dari pendingin ruangan tidak dapat menembus jas putihnya yang selalu ia kenakan saat berada di laboratoriumnya. Tangannya menjulur, meraih sebuah cangkir di mejanya. Seleranya langsung hilang, saat ia menyadari dinginnya pendingin ruangan telah meredupkan kehangatan kopinya.
Ia menghembuskan nafasnya, membiarkan dirinya terlelap sesaat. Matanya perlahan tertutup, sudah tidak dapat menahan kantuk dan lelahnya.
Matanya terbuka, jantungnya berdebar, nafasnya berat, tiba-tiba ponselnya berdering.
Tangannya dengan sigap mengambil ponselnya dari meja, menghantarkannya tepat ke depan wajahnya.
Pupil matanya mengecil saat layar ponsel itu menyala terang, menampilkan sebuah pesan masuk dari kontak tanpa nomor.
"Apa maksudnya ini?" Pikirnya.
Mejanya berdentum saat ia mengembalikan ponselnya. Ia kembali mengucek matanya seraya menarik nafas dalam. Ia kembali memfokuskan dirinya pada angka-angka di laptopnya.
Ia mencoba berkonsentrasi, namun sekali dua kali matanya kembali melirik ke ponselnya yang tergeletak terbalik di meja. Ia tidak bisa melupakan pesan itu.
"Tidak mungkin, pasti hanya kerjaan orang-orang jahil." Pikirnya lagi.
Jari-jemarinya kembali menusuk papan ketik di laptopnya, semakin banyak angka yang telah dia hitung. Rasa gelisah menghinggapi dirinya. Matanya memindai angka-angka itu dari baris paling atas, sedangkan tangannya berhenti mengetik.
"Sialan!" Bisiknya, saat ia menyadari ada kesalahan dalam perhitungannya.
Ia kembali bersandar, menarik nafas dalam. Ia merasa dirinya telah terpengaruh. Siska merupakan orang yang percaya dengan sains, dan pesan tadi menentang sains.
"Tidak mungkin." Bisiknya.
Rasa tidak nyaman mulai menghinggapi dirinya. Ia berdiri, melangkah menjauhi mejanya, menuju sebuah bingkai jendela kaca. Ruangannya diapit diantara dua ruangan lain, jadi hanya ini saja jendela yang mengarah ke dunia luar, dan disampingnya ada pintu.
Di luar sana gelap ditemani cahaya redup dari lampu jalan, dan mobil yang sesekali melintas. Cukup dengan memandang keluar ia bisa merasakan dinginnya pagi, dan ia bisa membayangkan hangatnya matahari terbit yang akan datang. Namun, pesan tadi... Pesan tadi memperingatkan dia untuk menghindari terbit matahari.
"Yang benar saja..." Gumamnya seakan ia tidak percaya dengan apa yang ia akan lakukan.
Ia menarik sebuah tali, menutupi jendela itu dengan tirai tebal, namun menyisihkan sedikit celah yang tidak tertutupi.
Ia kembali ke kursinya. Rasa lelah dan cemas telah mengambil alih dirinya. Ia tidak lagi menghadapi laptop dan angka-angka itu. Ia mengangkat ponselnya, membaca pesan itu sekali lagi. Pesan itu singkat, namun ia dapat merasakan ancaman dari pesan itu. Ancaman yang tidak mungkin. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya mempercayai pesan itu.
Ia memutar kursinya menghadap jendela. Kakinya menghentak pelan namun cepat, matanya tertuju pada celah kecil itu. Ia tidak lagi memperhatikan jam, atau merasakan arus waktu berlalu.
Langit mulai menunjukkan birunya. Jantungnya berdebar, pendingin ruangan tidak bisa membendung keringat dinginnya yang muncul dari rasa ketegangan.
Dengan ragu, ia melangkah kedepan, mendekati celah tipis itu. Dunia diluar sana mulai hidup, rekan-rekan kerjanya mulai berdatangan, mengendaryi mobil atau motor, bahkan saat matahari masih belum terbit diatas cakrawala.
Biru langit berganti merah saat sang surya terbit dari balik cakrawala. Ia terpaku, terpana dengan pemandangan itu. Detak jantungnya menggila, keringat dingin membanjiri dahinya, ia merasa putus asa.
Api di mana-mana, ia menyaksikan rekan-rekannya berlarian, berteriak kesakitan saat sinar matahari membakar mereka, jatuh bergelimpangan saat api melahap mereka.
Ia menarik tirainya, menutupi celah itu. Ia meringkuk, mengubur wajahnya ke lantai dan menutupi kedua telinganya. Suara teriakan itu begitu kuat, suara penuh siksa itu menembus kedua tangannya. Ia tidak mau mendengarnya, namun suara-suara itu menembus kedua tangannya. Suara teriak kesakitan, ditemani suara hembusan api, dan kertak-kertuk tulang-belulang yang patah terbakar.
Dengan mata dan telinga tertutup, ia berlari menuju mejanya. Namun, ia tersandung dan terjatuh. Ia merasakan panas hebat di kakinya. Sinar matahari berubah berwarna merah, berhasil menembus celah kecil itu dan sekarang mendarat di kakinya. Kain celananya mulai berasap, dan kulitnya mulai terasa panas.
Ia segera berbalik, berlari tanpa melihat kebelakang. Ia meringkuk di bawah meja kerjanya, redup dan gelap suasananya.
"Apa yang baru saja terjadi? Apa yang sedang terjadi?"
"Apakah ini kiamat?"
"Bagaimana caranya agar aku bisa selamat?"
Ada begitu banyak yang dipikirkannya. Nafasnya menjadi pendek dan cepat, jantungnya tidak berhenti berdebar. Matanya mulai terasa basah, ia tidak bisa menahannya lagi.
Gambar itu masih terngiang di kepalanya. Sinar merah matahari, rekan kerjanya yang di lahap api, suara teriakan mereka. Ia masih bisa mendengar mereka berteriak di luar sana, walau dalam hatinya ia percaya banyak dari mereka telah mati terpanggang oleh murka teror cahaya pagi.
"Aku harus bertahan hidup..."
"...Bagaimanapun caranya..."
"...Bahkan jika hanya sebentar saja."
Ia menyeka air matanya. Ia tidak bisa diam saja, setidaknya ia bisa menolong dirinya sendiri.
Puluhan menit berlalu, bergulung-gulung pita isolasi ia gunakan. Ruangan yang tadinya hangat dan disinari oleh cahaya merah yang menembus celah kecil tadi sekarang berubah menjadi gelap gulita. Hanya laptop dan ponselnya saja yang menjadi sumber cahayanya.
Ia kembali meringkuk di bawah meja, ditemani oleh cahaya redup dari ponselnya. Ia kembali membaca isi pesan darurat itu, mencoba mencerna apa artinya setelah semua ini. Matanya sudah terlalu lelah, setidaknya kegelapan ini memberinya kesempatan untuk beristirahat sejenak.
Ia membiarkan matanya menutup perlahan, membiarkan dirinya tertidur sesaat. Ia mau beristirahat untuk hari ini, untuk bertahan hidup nanti.


Komentar
Posting Komentar