DISKONEKSI
DISKONEKSI
Bagian dari PERSONAL
Tutorial
Tutorial ini bukanlah bagian dari cerita, namun penting untuk mengenalkan mekanisme dari cerita ini karena cerita ini mengandung sejumlah elemen interaktivitas sederhana.
Teks yang seperti ini adalah wajar dalam cerita ini.
...to open hidden translation (untuk membuka terjemahan tersembunyi), karena cerita ini multibahasa.
Di suatu malam hari.
Laki-laki itu berjalan, melangkah bersama seorang teman melewati sebuah taman. Mereka berbincang, berbicara seakan tidak pernah kehabisan topik. Dari hal sepele, hingga hal-hal yang hanya mereka berdua saja tahu.
Namun, dalam perbincangan itu, laki-laki itu merasa terganggu.
Risau hatinya. Disaat laki-laki itu memutar matanya menjauh dari wajah temannya, mereka ada di mana-mana. Pasangan, duduk bersama berbagi kasih sayang.
Laki-laki itu mencoba untuk terus mendengarkan temannya, mencoba memudarkan suara-suara di latar. Laki-laki itu mencoba untuk terus menjaga matanya tetap terarah kepada temannya, mencoba mengaburkan pandangan periferalnya.
Ia tidak bisa, mereka ada di mana-mana.
"Akhirnya," batin laki-laki itu. Setelah berjam-jam terjebak di sini, mereka berdua saling berpamitan diri.
Lampu-lampu jalan memantul di kaca helmnya, pandangannya memudar, hanya berisi garis-garis cahaya yang mengabur, tidak ada suara lain yang terdengar selain suara gemuruh mesin. Otaknya masuk mode autopilot, tangannya bergerak tanpa komando, memutar gas, menarik rem, hidupnya bergantung pada refleknya.
Hanya dengan seperti ini ia bisa membungkam otaknya yang sakit.
"Perasaan itu kembali."
"Dan perasaan itu menggerogoti kita."
"Apakah kita lemah?"
Entahlah, kita sudah menghadapi semua ini sendirian untuk begitu lama."
Di malam berikutnya.
Laki-laki itu berbaring di kamarnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit, dengan ponselnya di dadanya. Ia tetap diam, saat ponselnya bergetar dan berdering di dadanya.
Ia bergerak lambat. Gerak tangannya lemah, sebuah ekspresi non-verbal, campuran dari lelah dan pasrah. Ia membawa layar ponsel itu ke depan wajahnya, sinarnya menyilaukan mata.
"Aku tidak bisa malam ini, kita atur lagi jadwalnya di lain hari."
Ia kembali meletakkan ponselnya ke atas dadanya. Dadanya bergerak naik seraya Ia menarik nafas dalam, dan kemudian bergerak turun kembali saat ia menghembuskan nafasnya. Sebuah ekspresi non-verbal, campuran antara kecewa dan lega.
Ia membawa ponselnya kembali ke depan wajahnya. Lalu, jari-jarinya mulai bergerak untuk sesaat di atas layarnya.
"Ok" ketiknya.
"Maaf" sebuah pesan masuk.
"Tidak apa-apa" balas laki-laki itu.
Kemudian, ia menjatuhkan ponsel itu di samping tubuhnya. Ia mencoba menutup matanya, mencoba memberi dirinya sedikit istirahat.
"Aku agak kecewa, namun juga lega."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau merepotkannya."
"Tapi, dia sudah pernah merepotkan kita, kan?"
"Secara akademik, ya. Secara emosional... Mungkin tidak."
"Mungkin tidak." Ulang cerminannya sambil memutar matanya.
"Selain itu... Kita juga tidak perlu menghadapi kemungkinan ia tidak memahami kita."
Setelah matahari tenggelam di waktu lain.
Aku duduk sendirian di bangku taman, ditengah malam, disinari oleh lampu taman yang redup.
Tak lama kemudian, seorang gadis datang. Tak bisa aku mengenali wajahnya, namun ada rasa familiar dari dirinya, ada rasa familiar dari lengkung senyum bibirnya.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu duduk di sampingku, bersandar ke dalam rangkulanku.
Laki-laki itu membuka matanya, masih berada di tempat tidurnya. Ia bangun, tangannya bergerak buta di tengah kegelapan, tak lama kemudian suara "klik" di ikuti oleh lenyapnya kegelapan yang ditelan cahaya.
Ia membuka bawah bantalnya, mengambil ponselnya. Ketika layarnya menyala, jamnya menunjukkan pukul 2 malam.
Ia menolak untuk kembali tidur.
"Pikiran kita kacau."
"Ya, aku tahu."
"SIALAN! AKU BAHKAN TIDAK BISA MENGIZINKAN DIRIKU BERMIMPI INDAH!!"
Di gelap malam lain yang tak jauh dari saat ini.
Laki-laki itu duduk di depan sebuah meja, dengan layar laptopnya menyala terang menyinari wajahnya di tengah kegelapan.
Jari-jarinya tangannya terdiam di atas papan ketik laptopnya, sedangkan matanya berputar dari kiri ke kanan, memindai teks yang ada di hadapannya.
Tulisan itu tidaklah begitu panjang, namun ia bangga dengan tulisan itu. Ia memberinya judul "NIGHT'S STORY," dan diantara semua tulisan fiksi yang ia pernah buat, ia menganggap ini adalah magnum opus miliknya dalam konteks genre romansa.
Jantungnya berdegup saat ponselnya berdering, bergetar di tangannya.
Ia langsung menyentuh layarnya dan meletakkan ponselnya di dekat telinganya.
"Hei." Suara lembut menyapanya.
"Ha... Hai..." Laki-laki itu membalas terbata-bata.
"Kau terdengar... Tegang. Ada apa?" Terdapat kekhawatiran yang tulus
dari suara lembut itu. |
Begitulah isi PART 7. Begitulah isinya, tidak berubah selama beberapa hari terakhir ia duduk di sini. Cursor di ujung tulisan itu terus berkedip pelan, seakan ingin menghipnotisnya untuk tetap duduk dan memaksakan pikirannya. Atau, mungkin cursor itu sedang mengejeknya karena kreativitasnya yang mulai tumpul.
Ia menarik nafas dalam, mencoba membayangkan sesuatu. Membayangkan apa yang laki-laki itu akan katakan pada wanita itu melalui telepon. Namun, pikirannya kosong.
Atau mungkin, pikirannya menolak membayangkan skenario yang demikian.
"Kau tahu kalau tulisan adalah
"...tolak ukur kesehatan mental kita, kan?"
"Dan saat ini kita sedang agak kacau.
"Astaga... aku bahkan tidak bisa mengkhayal walau hanya untuk menulis cerita bodoh.
Tapi, kau berhasil menulisnya, 'kan?
"Ya, namun setelah itu selesai, aku merasa sangat, sangat kesal."
Malam sunyi yang lainnya.
Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berbaring di kamarnya. Di tangannya adalah ponselnya, dan matanya terpaku pada layarnya, membaca sebuah cerita.
Untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, bibir laki-laki itu melengkung membentuk senyuman. Sunyi malam di pecah oleh tertawa cekikikan, karena cerita yang sedang ia baca sangatlah konyol.
Tulisan itu adalah sebuah cerita tentang Dr. Salas, ilmuwan yang terjebak di alam baka, dan sekarang harus melawan dan berteman dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya. Untuk suatu alasan, ia suka betapa unhinged cerita ini.
Ia terus membaca, scrolling ke bawah.
Feck: Melyah? …did I hurt you?
Salas (V): Bitch, you're gonna.
(Crack. Feck vocalizes in pain.)
(Salas starts laughing. Feck does as well.)
(Several minutes of lighthearted sparring. Feck's war-howl returns.)
(At the 2 minute 55 second mark, it suddenly stops.)
(The ear-thumping sound from earlier returns, with even greater intensity…)
Project Thökk Transmission #1,513
[REDACTED WITH PREJUDICE] 6 7
Dahinya mengkerut, alisnya terangkat. Kemudian, jarinya bergerak, menyentuh salah footnote nomor 6 yang ada di cerita itu.
Footnote 6.
"I cannot overemphasize this: unless it's necessary for the purpose of containment,
. Project Thökk will continue, but Dr. Salas has been posthumously demoted to D-class. In addition, given the situation, the draft of her civilian cover obituary has been rewritten to claim that she died from injuries sustained while committing bestiality." - Sasha DiLaurentis, Site-59 Disciplinary Chief
Sex implies romance and intimacy in this context.
Tawa kecil laki-laki itu memudar, dan bukan karena alasan yang jelas.
Footnote itu mengingatkannya tentang banyak hal. Hal-hal yang terlewatkan olehnya, hal-hal yang ia inginkan, hal-hal yang... ia dambakan, dan satu hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Ia teringat dengan bukan dengan aksinya, namun ia teringat dengan implikasinya.
Cerita itu tadinya lucu, sekarang tidak lagi.
"Aku terpicu oleh hal bodoh dan sekarang malamku rusak!
"Kita sudah biasa terpicu oleh yang demikian, ini bukan hal baru. Tidak apa-apa...
Tanya laki-laki itu, matanya berputar pelan beralih menatap cerminannya.
"Apakah kita... lemah karena terpicu dengan begitu mudahnya?"
belum sempat cerminannya selesai bicara.
"Lemah? Aku akan bilang kalau kita kuat... untuk waktu yang terlalu lama, karena..."
"...kita sudah menghadapi semua ini sendirian untuk begitu lama?" Potong laki-laki itu pelan dengan nada bertanya.
Cerminannya memiringkan kepalanya, tatapannya sinis namun diikuti oleh senyum simpatik.
Laki-laki itu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.
"Sungguh seonggok omong kosong."
Ini adalah hari biasa lainnya.
Teman-temannya sudah mulai berdatangan, membuat ruang kelas yang sempit ini menjadi riuh yang memekikkan telinga. Laki-laki itu duduk di bangkunya, tidak begitu mau peduli.
Lalu, datanglah sepasang itu.
Saat pasangan itu bergandengan tangan, laki-laki itu tidak mempedulikan. Saat mereka berdua berbincang, laki-laki itu tidak mwreda suara mereka dengan musik, karena ia tidak mau mendengarkan. Saat mereka duduk berdua berdampingan, laki-laki itu berpaling, mengalihkan pandangan.
Marah, iri, cemburu, benci, malu, sedih, dan beragam emosi lainnya bercampur dalam hati laki-laki itu.
"Perasaan ini... Ini adalah rasa iri... Dan cemburu."
"Ya."
"Iri... dan cemburu, atas apa? Tidak mungkin kita cemburu karena mereka, kan?"
"Bukan karena mereka, Kita iri dan cemburu atas hal yang tidak pernah kita punya atau alami."
Aku duduk di sini, di suatu tempat di entah berantah yang tidak jelas dimana.
Di sampingku ada seseorang, ia duduk bersamaku, tidak jelas kenapa. Ku coba tatap wajahnya, namun tidak jelas siapa dia.
"Lelah?" Tanya sosok itu, lembut suaranya.
Aku hanya mengangkat bahuku sebagai jawaban.
"Tidak apa-apa," sahut sosok itu, suara menenangkan.
Desir gesekan kain memecah keheningan diantara kami berdua. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya, namun aku bisa merasakan beban tangannya. Aku bisa merasakan kehangatannya, saat dia menarik ku ke dalam rangkulannya. Aku bisa merasakan kehangatannya, namun aku tidak tahu apakah rasa hangat benar. Aku bisa merasakan beban dekapan kedua tangannya, namun aku tidak tahu apakah rasa beban itu benar.
Aku... Aku tidak tahu seperti apa rasanya, dipeluk seperti ini.
"Semua akan baik-baik saja."
"Kau masih punya dirimu sendiri."
"Kau kuat."
Dadaku sesak.
Ini semua tidak nyata.
Dadaku menyempit.
Ini semua tidaklah nyata.
Pengap rasanya, habis nafasku, lelah jiwaku, air bercucuran dari mataku, hatiku sudah tak bersisa.
Semua ini tidak nyata.
"Kita ingin bisa menangis, untuk melepaskan semua. Namun..."
"Namun kita tidak bisa."
"Aku ingin menangis. Menangis seperti aku membayangkan diriku menangis."
Cerminannya menghela nafas panjang, dengan berat yang bisa terdengar dari hembusannya.
"Ya... Aku juga ingin bisa menangis..."
Laki-laki itu mengambil ponselnya, membawa layarnya kedepan wajahnya, dan mulai mengetik denga ibu jarinya, tepat saat ia masih bersama dengan cerminannya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Jika kita tidak bisa tumpahkan lewat tangisan, maka akan kita tuangkan lewat tulisan."
3.50 pagi. Laki-laki itu berbaring di tempat tidurnya, matanya tertutup jiwanya terlelap. Di samping kasurnya ada sebuah meja, dan diatasnya ada sebuah laptop yang masih menyala, menampilkan cerita yang sudah dia tulis.
"SCP-7702" by daveyoufool, from the SCP Wiki. Source: https://scpwiki.com/scp-7702 Licensed under CC-BY-SA.
DISKONEKSI by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0
Kurasa kali ini aku agak berlebihan dengan cerita ini, baik dari segi formatting atau naratif. Kurasa aku harus hiatus. Maaf.
BalasHapus