Mode Malam
Cerita ini mengandung deskripsi sensualitas. Elemen ini terjadi di antara dua karakter secara konsensual, dan di gambarkan secara non-eksplisit. Walau begitu, pembaca di harap bijaksana dalam membaca dan menanggapinya, khususnya bagi para pembaca yang mungkin merasa konten seperti demikian berlebihan atau membuat tidak nyaman.
Cerita ini ditulis oleh seseorang yang tidak pernah memiliki hubungan romantis atau seksual, anggap cerita ini
sebagai tulisan EKSPERIMENTAL.
Mode Malam by Pengkhayal Pasif and Synn Atikka is licensed under CC BY-SA 4.0
Thanks to Synn for editorializing this piece, especially the explicit part.
Bagian dari PERSONAL
Tidak ada apa-apa dalam sudut pandangnya selain layar komputer yang menyala, membakar retinanya.
Bola matanya berputar, mengikuti gerak kursor. Keheningan hanya di isi oleh suara ketikkan, saat jari-jarinya menusuk-nusuk papan ketik dibawah tangannya.
"Sialan." Bisiknya.
Ada sesuatu yang salah dengannya. Jantungnya berdebar, keringat dingin mengucur dari dahinya, pikirannya tidak bisa diam.
"Sialan!"
Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursinya. Suara ketikkan yang telah mengisi keheningannya sekarang digantikan oleh suara nafasnya.
Tarik dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.
Tarik dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.
Pikirannya tidak bisa menyingkirkan perasaan itu.
Penasaran.
Iri.
Dengki.
Terbayang di pikirannya.
Dirinya... bersama seorang perempuan nan cantik. Senyumnya manis, lemah gemulai gerakannya, lembut sentuhannya. Semakin dalam ia tenggelam, semakin hening semuanya, kecuali suara nafasnya.
Mereka berduaan, duduk di tepi ranjang, saling memandang dalam ke mata. Semakin dekat, hampir tak berjarak. Semakin dalam ia tenggelam, semakin hening semuanya, kecuali suara detak jantungnya.
Ia mengedipkan matanya.
Hilanglah khayalannya, kembalah dia kesini, di kantor yang berantakan ini, terjebak dalam pekerjaan ini disaat dia ingin berada di tempat lain.
"Ada sesuatu yang salah denganku..." Gumamnya seraya mengusap wajahnya.
"Aku tidak seharusnya berpikir demikian..."
Ia menjauhkan punggungnya dari sandaran kursinya. Jari-jarinya kembali menusuk-nusuk papan ketik komputernya. Sesekali, ia membuka ponselnya, walau tidak melakukan apa-apa. Kekacauan itu terus berlangsung selama beberapa jam, hingga akhirnya langit biru berganti kuning dan cahayanya meredup.
Ia kembali bersandar. Tidak ada apa-apa dalam sudut pandangannya selain layar ponsel yang menyala redup. Jarinya menggeser di layar itu, sampai akhirnya dia terpana oleh sesuatu.
Bentuk logonya hijau, dengan dua huruf berwarna putih didalamnya.
"Aku akan menyesali ini..." Gumamnya.
Kuning sore berganti hitam malam. Laki-laki itu diam, duduk sendirian di tengah sebuah taman, di sinari oleh lampu taman yang redup dan layar ponselnya yang menyinari retinanya.
Jarinya bergerak lincah, menyentuh papan ketik virtual yang ada di layar ponselnya.
Tarif? Lokasi?
Hotel Rainbow, 40
Bisa nego? Ini pertama kali ku.
20
Deal
Datang setelah ini, nanti ku chat lagi
Oke
Sinar terang layar ponselnya berganti menjadi redup gemerlap bintang malam saat ia bersandar, menatap ke langit.
"Apa-apaan yang akan kau lakukan?" Tanya sebuah suara familiar.
"Aku... Aku hanya penasaran." Jawab laki-laki itu seraya membawa pandangannya kembali ke bawah.
Di sampingnya duduk seorang laki-laki, pakaiannya lusuh tak beraturan, kerut bibirnya dan tatapan sinisnya familiar, serak suaranya kasar. Itu adalah dirinya, sisi lain dirinya, cerminan dirinya.
"Apa kita yakin akan melakukan ini?" Tanya cerminannya.
Laki-laki itu hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.
Cerminannya tertawa kecil, menggelengkan kepala, heran dengan apa yang mereka pikirkan. Perbincangan mereka terputus saat sebuah suara dering menembus keheningan diantara mereka berdua.
Aku sudah siap, datanglah secepatnya
Begitulah isi chatnya.
"Kita akan menyesali ini." Jawab cerminannya. Matanya melirik ke ponsel itu.
"Ya, kita akan menyesali ini." Jawab laki-laki itu walau matanya tidak memandang cerminannya, melainkan menatap ponselnya, dan jari-jarinya juga bergerak lincah mengentikan pesan balasan singkat.
Tanpa pamit, ia melangkah pergi. Sementara cerminannya telah lenyap di makan gelap malam.
Gelap malam dihiasi oleh gemerlap kota, lampu-lampu jalan yang bersinar terang, papan reklame raksasa yang mengiklankan hal-hal tidak penting, dan pengendara yang tidak sabaran. Laki-laki itu membawa motornya menuju sebuah parkiran. Dari balik kaca helmnya, ia menatap ke atas, dihadapkan dengan sebuah gedung yang menjulang tinggi.
Laki-laki itu mengambil ponselnya.
Aku sudah sampai
Lantai 3, kamar nomor 311
Oke
Melewati pintu kaca, tanpa menyapa, ia menaiki sebuah tangga. Tak pernah ia datang ke tempat seperti ini sebelumnya. Sunyi, sempit, hanya ada dinding berpintu tertutup di kiri kanannya, hanya ada lorong panjang di depannya. Matanya menatap, melirik, membaca angka-angka yang ada di pintu-pintu yang tidak terbuka.
"311."
Ia mengetuk pintu itu.
Di sinilah dia, tidak bisa mundur lagi.
Detak. Detak. Detak. Detak. Jantungnya berdetak, tidak berdebar, hanya berdetak ibarat gerak detik jarum jam. Dadanya bergerak, saat angin dingin menghembus masuk saat ia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Detak kunci berputar, di sambung oleh derit engsel pintu, kemudian diakhiri oleh hadirnya seorang wanita.
"Apakah kau tamuku?" Tanya wanita itu, suaranya ramah lagi lembut.
"Ah... Ya." Jawab laki-laki itu, ragu.
"Silahkan masuk." Sahut wanita itu sambil melangkah mundur, meninggalkannya.
Detak, detak, detak, detak. Jantungnya berdetak, sedikit lebih cepat, saat ia menyadari untuk kesekian kalinya, sedang dalam situasi apa dia saat ini.
"Jadi, kau tidak pernah melakukan ini?" Tanya wanita itu, tangannya memutar kunci pintu, mengurung mereka berdua disini.
"Kau tidak punya pacar?" Tanya wanita itu lagi, tidak peduli dengan batas pribadi.
Laki-laki itu hanya diam saja saat ia melangkah semakin dalam, di hadapkan dengan sebuah ruangan yang kosong lagi sederhana. Hanya ada sebuah televisi yang menyala, dan sebuah ranjang dibalut dengan sprei putih yang masih bersih.
"Kau merasa tegang?" Tanya suara lembut itu.
Wanita itu melangkah, berdiri di depannya, berpose, tangannya di pinggang, menujukan kurva siluet tubuhnya yang bagai jam pasir. Tingginya semampai, dengan lengkungan yang memancing mata. Kulitnya putih, bisa di intip dari pakainnya yang terbuka, sengaja tidak di kancing. Titik hitam di tengah coklat mata wanita itu memandang balik, di naungi oleh bulu mata yang lentik, di ikuti oleh lengkungan bibirnya yang ramah.
"A... Aku tidak bermaksud..." Laki-laki itu kehabisan kata-kata, tersadar dari lamunannya, lamunan yang membawa matanya untuk menikmati pemandangan didepannya.
"Tidak apa-apa, sudah menjadi bagian pekerjaanku untuk menjadi... Dinikmati." Wanita itu tertawa kecil.
Detak detak detak detak. Jantungnya berdetak, berdebar, ibarat kata tunggal yang di ulang-ulang tanpa jeda koma atau titik.
Laki-laki itu terdiam terpana, saat wanita itu melangkah mendekatinya. Tangan wanita itu menjangkaunya, jari-jarinya bergerak pelan, membuka kancing bajunya.
"Karena kau tidak pernah melakukan ini... Maukah kau jika aku yang... Memandu malam ini?" Lembut suara wanita itu seakan peduli, lembut tatapannya membuat laki-laki itu tidak ingin terpejam.
"Shh..." Desis wanita itu. "Rileks... Jangan tegang..."
Detak detak detak detak. Jantungnya berdetak, berdebar, ibarat kata tunggal yang di ulang-ulang tanpa jeda koma, titik, atau tarikan nafas.
Lemah lembut telapak tangan wanita itu saat ia mendorong laki-laki itu pelan ke atas ranjang. Sementara laki-laki itu hanya diam, membiarkan malam ini terjadi.
Gerakan berulang, posisi yang terus berubah, sentuhan nan jauh, tanpa rasa, tanpa emosi, tatapan yang tidak dalam, tak terucap puji kasih sayang, yang keluar hanya erangan nafas yang terputus-putus, hasil dari nafsu yang tak terpuaskan. Kurang dari satu jam kemudian transaksi mereka berakhir.
"Kau tadi terlalu tegang..." Komentar wanita itu. Kakinya menggantung di tepi ranjang, hitam mata wanita itu mengarah pada laki-laki itu.
"Mau bagaimana lagi, baru pertama kali." Jawab laki-laki itu. Jari-jarinya bergerak dari bawah ke atas badannya, mengancingkan bajunya.
Bergerak ke belakang tangan laki-laki itu, dan saat tangannya kembali ke depan, ia meletakkan dua lembar uang di sebuah meja. Kemudian ia berbalik, matanya langsung mengunci ke mata wanita itu.
"Terima kasih." Ucapnya pelan.
Bibir wanita itu melengkung, matanya berkedip, menggerakkan bulu matanya yang lentik. Kaki panjangnya menjangkau ke lantai, membawa wanita itu mendekati laki-laki itu, dan kali ini dia menjaga jarak. Hanya tangannya yang bergerak, menjangkau lembaran uang yang di letakkan laki-laki itu.
"Jangan kau sesali." Sahutnya lembut.
Tidak tahu apa yang harus di ucapkan, laki-laki itu hanya mengangguk sekali, sebelum melangkah keluar dari kamar itu, mengakhiri malam ini.
Malam berganti siang, hari berganti hari, menjadi minggu, kemudian menjadi bulan. Memori itu masih tertancap dalam ingatan laki-laki itu.
Ini adalah malam lainnya, malam sunyi. Ia mengurung diri di kamarnya, duduk di kasurnya. Hitam bayangan menyelimuti kamarnya, menyelimuti tubuhnya, karena satu-satunya sumber cahaya yang ada disini hanyalah sebuah lampu neon yang menyala redup di sudut ruangan.
"Kau menyesalinya?" Tanya sebuah suara yang tidak asing lagi.
Laki-laki itu mengangkat kepalanya, mendapati cerminan dirinya telah berdiri di depannya, bersandar di dinding, dengan tangan menyiku terlipat di depan dadanya.
"Kita menyesalinya." Jawab laki-laki itu.
"Mungkin kita salah kaprah tentang... Keintiman."
"Yah..."
"Setidaknya... Kita telah mencoba, telah... Merasakannya, iya kan?"
"Kau mencoba memutar hal ini menjadi sesuatu yang positif?"
"Masih lebih baik dari sekedar 'it is what it is'."
Laki-laki itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, menarik nafas dalam, dan memecah keheningan dengan hembusan nafas lelahnya.
"Hei.... Biarlah itu sudah berlalu, bukan berarti diri kita berubah..."
"Diri kita memang sudah berubah." Sahut laki-laki itu menyela, tidak membiarkan cerminannya selesai bicara.
"Aku... Bingung bagaimana mau memproses ini... Bisakah kau diam? Aku perlu keheningan..." Sambung laki-laki itu. Suaranya berat, membawa setiap tarikan nafasnya, mengeluarkan keluh kesahnya.
Cerminannya hanya diam, mengangguk mengiyakan.
Saat laki-laki itu berkedip, cerminannya lenyap.
Klik terdengar saat jarinya menekan sebuah tombol, dan saat itu jugalah kamarnya me jadi gelap, hitam pekat di makan gelap malam. Suara hentakan terdengar saat laki-laki itu menghempaskan dirinya ke kasurnya, kemudian di ikuti helaan nafas. Gelap kamarnya membuat perbedaan antara membuka dan menutup mata menjadi tipis, namun ia tetap menutup matanya.
Apa yang terjadi di malam itu akan terus mengganjal dalam dirinya. Semoga malam ini ingatan itu tidak menjadi mimpi.
Aku... aku tidak tau lagi. Marahi aku, hukum aku, hakimi aku. Yang jelas, beginilah apa adanya.
BalasHapusSemua itu tadi adalah sebuah kesalahan.