Spektrum
spektrum (spek.trum)
(nomina) (Fisika) rentetan warna yang berkesinambungan yang diperoleh saat cahaya diuraikan ke dalam warna komponennya.
SPEKTRUM by Pengkhayal Pasif and Synn Atikka is licensed under CC BY-SA 4.0
Thanks to Synn for editorializing this piece.
Bagian dari PERSONAL
Langit gelap nan suram, hujan rintik yang tidak pernah berhenti, malam yang tidak pernah gelap. Laki-laki itu berjalan di antara dua gedung yang menjulang tinggi, meniadakan angin malam, menjadi tempat tinggal, dan menjadi tempat terpasangnya gemerlap sinar yang bergerak, menari mencari perhatian dengan bentuknya yang tiga dimensional.
"Upgrade Eva Anda dan jadikanlah dia seperti yang Anda mau."
"Perlu perlindungan diri? Rubicon kini menghadirkan alat yang tepat untuk membela diri."
"Eden, pasangan yang selalu ada kapanpun, dimanapun, seperti apapun yang Anda mau."
"Bekerja bersama Wayland, dapatkan kesempatan untuk memulai hidup baru di tanah yang jauh dan makmur."
Laki-laki itu melangkah masuk ke salah satu gedung, dan suara-suara iklan itu langsung lenyap, di gantikan suara riuh yang tak acuh. Ia melangkah, menaiki tangga, berpapasan dengan mereka yang menuruni tangga untuk pergi bekerja. Bahkan dengan tas besar di tangannya, tidak ada yang peduli. Tidak satupun manusia di sini peduli dengan satu sama lain.
Tanpa menunda lagi, laki-laki itu langsung menuju apartemennya, dan mengunci dirinya di dalam. Belum lagi kakinya melangkah, dia sudah terdiam.
"Hai." Sapa orang itu. Cerminannya, teman setianya.
"Aku... Aku sudah gila." Laki-laki itu tidak bisa menahan senyumnya.
"Ayolah, ini hanya... Eksternalisasi dialog diri."
Laki-laki itu tak acuh untuk sesaat, meletakkan tas besarnya, melepas pakaiannya, mandi sebentar, memasak, dan aktifitas sebagainya. Saat ia kembali, cerminannya itu masih berdiri di sana, menunggu.
Bukan makanan yang sedap, bukan makanan yang pantas, namun masih makanan yang cukup. Itulah realita makanan yang sedang di santap laki-laki itu. Sedangkan cerminannya masih berdiri, menunggu.
"Kali ini kau terkesan hening." Ujar laki-laki itu.
"Karena malam ini aku akan menjadi penggoda dan pengkritik mu." Jawab cerminannya seraya bergeser, duduk di hadapan laki-laki itu.
Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya, tertawa kecil sebelum kembali mengalihkan perhatiannya, mengaburkan waktu. Menghabiskan makanannya, lalu bersih-bersih untuk sesaat.
Laki-laki itu kembali, merogoh ke dalam tas besar tadi. Dia keluarkan isinya, tiga lembar pakaian dan sebuah hiasan kepala. Ia menggelarnya di atas kasurnya. Kemudian, cerminannya melangkah mendekat.
"Anime?" Ujar cerminannya lembut, menoleh ke arahnya.
"Ya." Jawab laki-laki itu singkat seraya melangkah mundur.
"Kenapa?" Selidik cerminannya, walau ia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Entahlah, kurasa hanya preferensi estetik."
"Estetika." Ulang cerminannya seakan meragukan, namun ia tetap mengangguk mengiyakan.
Laki-laki itu melangkah mundur, memandang untuk sesaat. Matanya mengikuti kurva pakaian utamanya, berwarna hitam dan bersiluet kurva jam pasir. Kemudian, matanya beralih ke pakaian kedua yang akan melapisinya, warnanya putih, dengan tali berenda. Lalu, tatap matanya beralih ke pakaian berikutnya, yang akan menutupi kakinya, yang berwarna hitam mengkilap dan kelihatan lebih kecil dari yang seharusnya. Terakhir, matanya memandang penghias kepala, warnanya putih dengan hias berenda.
"Ayo... Lepas pakaianmu dan coba pakai itu." Bisikan itu di ikuti oleh senyum licik.
"Agar kau bisa menertawakan ku ?" Tanya laki-laki itu.
Cerminannya hanya mengangkat bahunya.
Keheningan itu terpecah sesaat oleh hembusan nafas. Laki-laki itu kembali melangkah maju, sambil mengangkat baju kaosnya, dan menurunkan celananya. Lalu, ia duduk di tepi kasur.
"Take your time." Ujar cerminannya, sambil melangkah maju, berdiri di depannya.
Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai respon.
Pertama, pembungkus kaki. Kainnya hitam, elastis, dan licin. Laki-laki itu memasukkan kakinya ke dalamnya, perlahan, menarik kainnya ke atas menutupi kedua kakinya. Kainnya begitu sesak, memeluk kulitnya dengan erat.
"You look ugly in that thing." Cerminannya cekikikan.
"Whatever." Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya.
Kedua, pakaian utama. Ia mencelupkan kepalanya lewat lubang di bawah pakaian itu, menurunkan kainnya, menutupi badannya. Kainnya terasa ringan, namun kasar di kulit karena jahitannya terekspos langsung.
"I don't like how it feels." Komentar cerminannya.
"Kau benar, aku seharusnya memakai pelapis."
Tanpa menunda. Ia melepas pakaian itu, mengenakan sebuah kaos tipis, lalu kembali memakai pakaian hitam itu, dan menutup kancingnya.
"Ooh... Perlahan kita akan menjadi berbeda." Tawa cerminannya.
Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia mengalihkan perhatiannya. Menjulur ke depan tangan laki-laki itu, mengambil sehelai kain putih berenda. Teksturnya tidak begitu lembut, namun kainnya terasa ringan dan tipis. Laki-laki itu menoleh ke samping, menatap cerminannya.
"Apa? Merasa kecewa?" Tanya cerminannya, membaca isi pikirannya.
Laki-laki itu mengangguk.
"Begitulah cosplay murah."
Tangan laki-laki itu meraih penghias kepalanya. Sebuah bando putih dengan kain berenda yang menjadi penghias. Lagi, laki-laki itu menoleh ke cerminannya.
"Kau harus mengenakannya untuk mendapatkan the full experience." Seringai cerminannya.
"Ugh... Fine." Keluh laki-laki itu.
Ia mengaitkan bando itu di kepalanya. Rasanya aneh, ada yang menggantung di kepalanya, namun tidak menutupi keseluruhan kepalanya seperti helm atau topi. Rasanya hanya segaris saja yang tertutup, namun fungsinya bukan untuk menutupi kepala.
"Kau tampak manis." Celetuk cerminannya.
"Aku tidak percaya. Kita bahkan belum... Melihat diri kita di cermin." Jawab laki-laki itu pelan.
"Kalau begitu, mari kita melangkah ke depan cermin."
"Tapi... Bagaimana jika aku... Tidak suka?" Laki-laki itu berbisik.
"Maka tidak apa-apa, ini hanya eksperimen belaka."
"Tidak apa-apa..." Gumam laki-laki menggemakan ucapan cerminannya.
Satu langkah ia ambil, terasa aneh karena ada penyekat tipis antara telapak kakinya dan lantai. Selangkah lebih dekat denga cermin, ia bisa merasakan angin masuk di antara dua kakinya yang tertutup namun terasa terekspos.
Satu langkah terakhir. Matanya masih menatap ke bawah, ke lantai, dalam pandangan periferalnya ia bisa melihat apa yang ia pakai. Ia bawah tatap matanya ke dadanya, karena ia bisa merasakan detak jantungnya.
Detak, detak, detak, detak. Jantungnya berdetak, ibarat satu kata yang di ucapkan berulang, hanya di jeda oleh koma.
Ia menutup matanya, dan saat ia membuka matanya, ia di hadapkan dengan bayangan yang tidak asing namun berbeda di cermin.
Detak detak detak detak. Jantungnya berdetak ibarat satu kata yang di ucapkan berulang tanda jeda.
Ia melangkah ke depan, tangannya menggapai ke cermin, dan bayangannya mengikuti geraknya. Wajahnya... Wajahnya masih wajah dirinya, namun badannya, terasa bukan dirinya.
Detak, detak, detak. Jantungnya berdetak, kembali memiliki jeda koma di setiap detaknya.
Matanya menelusuri ke bawah, mengikuti lengkung kurva bayangannya di cermin. Melebar di dada, menyempit di pinggang, dan kembali melebar sampai ke lutut, kemudian berganti menjadi kedua kakinya yang terekspos.
Matanya menelusuri ulang dari bawah. Mengikuti kurva kakinya yang terkesan memanjang, ditutupi oleh kain hitam ketat nan licin. Kemudian kurva kontinyu itu di putus oleh kain pakaiannya, mekar di atas lututnya, di tutupi oleh kain putih pelindung. Kurvanya kembali menyempit di pinggangnya, dimana kain putih itu terikat di belakangnya. Perlahan, kurva siluet bayangannya kembali melebar saat ia menelusuri ke atas, mengikuti tali berenda yang menyangga kain putih itu di bahunya.
Detak detak detak detak.
Ia menyadari sesuatu. Dadanya tertutup oleh pakaian hitamnya, namun... Tidak tertutup oleh kain putih itu. Tali berenda kain putih itu melintang di kiri kanan dadanya, namun tidak menutupinya. Ia mengangkat tangannya, meletakkan telapak tangannya di dadanya.
Masih ada kain yang menutupinya. Kain dari pakaian hitamnya. Walau begitu... Ia masih merasa terekspos, seakan ada mata selain matanya yang sedang menatapnya, mengikuti kurva siluet badannya, bahkan terasa seakan ada yang mengintipnya.
"Hei."
"Jangan kau menyelinap begitu!" Sahut laki-laki itu nyaring.
"Maaf."
Cerminannya, sisi lain dirinya sekarang berdiri di sampingnya, masih dalam pakaian normalnya.
"Kau... Tidak berganti?" Laki-laki itu menatap cerminannya, matanya menelusuri dari ujung kaki ke ujung kepalanya.
"Aku memang dirimu, namun aku hanya ada di kepalamu, ingat?" Jawab cerminannya ramah.
"Oh... Ya. Oke... Kau benar."
"Jadi, bagaimana rasanya?"
"Aku... Masih memproses ini."
Detak, detak, detak, detak. Jantungnya berdetak, perlahan melambat, perlahan tenang kembali.
Berputar ke kiri, berputar ke kanan. Laki-laki itu, seraya mencengkram pinggangnya. Kain yang menutupi di atas lututnya menjadi mekar saat ia berputar di atas kakinya. Ia berputar, berbalik sehingga sisi belakangnya menghadap ke kaca cermin. Kain putih berenda yang menutupi depan badannya terikat di pinggangnya, di belakangnya, dengan ikatan pola kupu-kupu.
Ia kembali berputar, berbalik menghadap cermin. Ia mengangkat kaki kanannya, menatapnya. Kedua kakinya tertutup oleh kain hitam ketat, memeluk kulitnya. Dengan pakaian itu, untuk suatu alasan ia merasa siluetnya menjadi lebih panjang.
Ia turunkan kakinya, kembali berpijak. Ia bawa tangannya, mengelus menelusuri kurva badannya sendiri. Di bawah pakaian ini, kurva badannya masih sama seperti yang ia tahu. Namun, kombinasi pakaian ini, penutup kaki yang ketat, pakaian hitam singkat, dan pelapis putih yang berhias, secara visual kurva siluetnya berubah.
Detak. Detak. Detak. Detak. Detak jantungnya berdegup pelan, ibarat satu kata yang di ucapkan berulang, di jeda dengan titik.
Ia membawa tatap matanya kembali ke kaca cermin. Kembali, menatap memandangi bayangannya. Ada sedikit identitas dirinya yang tidak hilang, namun hanya menjadi tersembunyi di bawah pakaian ini. Lalu, di atas pakaian ini, ia mendapati dirinya menjadi berbeda, mendapati dirinya... Mendapatkan identitas baru. Bukan identitas pengganti, namun hanya sekedar pelengkap, sedikit dari dirinya yang multidimensional.
"Bagaimana rasanya?" Cerminannya mengulangi pertanyaannya.
"Aku... Merasa berbeda." Jawab laki-laki itu lembut.
"Terasa nyaman?" Tanya cerminannya menyelidik.
"Ya..." Jawab laki-laki itu lembut.
"Kau... Akan memainkan sebuah peran?" Tanya cerminannya dengan jeda keraguan, walau ia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Kurasa." Jawab laki-laki itu singkat.
Laki-laki itu melangkah pergi, menuju kasurnya. Setiap kali ia mengambil langkah, kain pakaiannya berayun-ayun, mengikuti gerak momentum. Kemudian keheningan diantara mereka berdua terpecah, saat laki-laki itu duduk di kasurnya, gerak tubuhnya membuat suara desir pelan karena gesekan kain pakaiannya.
"Sudah saatnya kau lenyap, kembali ke kepalaku." Ucap laki-laki itu lembut sambil mengayunkan kakinya.
"Jadi... Apa yang akan kita lakukan?" Tanya cerminannya sambil melangkah maju mendekati laki-laki itu.
"Kita akan diam sesaat, menyesuaikan diri, relishing on our new look, relishing on the texture and the feeling." Jawab laki-laki itu lembut, suaranya membawa sedikit desahan lemah.
Cerminannya mengangguk.
Saat laki-laki itu mengedipkan matanya, cerminannya menghilang.
Laki-laki itu berbaring, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk sekarang, selain diam dan merasakan. Ketat dan hangat membungkus kakinya. Lembut dan longgar membungkus badannya. Erat dan kuat terikat di pinggangnya. Pelan detak jantungnya. Tidak berubah dirinya, namun bergeser letak spektrumnya.
Ibarat warna merah kasar, spektrumnya bergeser, menjadi sedikit lembut, menjadi sedikit pastel. Namun tetap, tidak berubah dirinya. Saat ini, ia hanya sekedar menutup mata, dan tenggelam dalam rasa sensori fisik dan emosinya.
Detak. Detak.
Detak. Detak.
my writing is getting more and more intimate... to my self, and I don't like it. Yet, i keep writing it. Consider this piece as a "transitory" piece into a more... cyberpunk aesthetic of PERSONAL.
BalasHapus