5 Detik Sebelum Tengah Malam
5 Detik Sebelum Tengah Malam by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0
Januari 2025.
National Press Club, Washington, Amerika Serikat.
Di antara kerumunan itu, ada seorang laki-laki. Ia hanya seorang tamu, seorang pengamat tanpa status. Di sisi kirinya, ada seorang reporter dari kantor berita ternama dari negerinya sendiri, di sisi kanannya, ada seorang pengamat dari sebuah think-tank ternama yang berurusan dengan kebijakan nuklir. Sedangkan dirinya, ia hanya seorang mahasiswa yang beruntung bisa berada disini.
Ia merasa tidak nyaman, jantungnya berdebar, keringat dingin membasahi dahinya. Ia merasa kecil, berada di tengah-tengah orang-orang penting ini. Namun, pengumuman yang ia tunggu jauh lebih penting lagi.
Ia membuka ponselnya, mencoba menenangkan dirinya dengan beberapa hiburan kecil. Untuk itu, ia membuka sebuah aplikasi posting video.
Algoritma langsung menyerangnya.
Berita buruk bertebaran di halaman depannya. Perang di Eropa Timur, perang di Timur Tengah, eskalasi di Laut China Selatan. 500.000 tewas, 50.000 tewas, sisanya masih di hitung. Semua headline itu, rasanya hanya memperberat situasi saat ini.
Kamera-kamera mulai mengedipkan lampu sorotnya, keheningan beku mulai digantikan oleh riuh rendah namun kaku. Laki-laki itu mematikan ponselnya, mengalihkan perhatiannya pada apa yang sedang terjadi didepan, menjadikan dirinya sebagai salah seorang saksi dalam acara ini.
Seorang laki-laki tua dengan kumis tipis dan rambut yang mulai memutih melangkah ke panggung. Ia bejalan, berdiri tegap, namun wajahnya netral, hampir terkesan kaku. Posturnya tidak menentu, tertutup oleh jas putihnya yang panjang, penanda status dan profesinya.
Laki-laki tua itu berdiri ke tengah panggung, dihadapan sebuah jam dinding besar non-fungsional yang akan menjadi alat metafora dan sebuah benda simbolik. Ia membersihkan tenggorokannya, lalu ia mulai berbicara ke pada para hadirin.
"Perkenalkan, nama saya Dr. Hamza Azari, dan terimakasih telah datang di pengumuman kami," sebagai pembawa acara, suaranya terkesan terlalu kaku.
"Tidak seperti biasanya, kami memutuskan Pengumuman Jam Kiamat 2024 untuk diadakan secara singkat, dan tanpa mengundang tokoh-tokoh penting, mengingat kita sedang melewati masa-masa keruh yang mengkhawatirkan, dan para tokoh-tokoh penting itu sedang bekerja keras membantu masyarakat melewati masa sulit ini," suara serak beliau sama sekali tidak mengisyaratkan optimisme.
"Jadi, Jam Kiamat," ia melangkah kesamping, memperlihatkan jam besar itu.
Jam besar itu tidak berdetak, namun berdiri di sebuah bingkai kayu yang menyangganya. Jam besar itu tidak berbentuk bulat, hanya 1/4 dari sebuah bundaran. Jarum pendeknya mengarah pada jam 12, dan jarum panjangnya tidak jauh dari jam 12.
"Jam Kiamat merupakan ciptaan dari Bulletin of the Atomic Scientist, dimana jam ini berperan sebagai objek simbolis, yang berperan dalam memberikan kita gambaran metafora tentang seberapa dekat kita dengan kehancuran global." Dr. Hamza mulai menjelaskan fungsi jam itu. Seketika para hadirin langsung diam, mendengarkan, menyimak, dan merekam presentasinya.
"Di Jam ini, jam 00.00, atau tengah malam menggambarkan bahwa kita telah berada di ambang kehancuran, dan saat ini, kita masih berada pada '1 menit, 30 detik sebelum tengah malam.'" Sambung Dr. Hamza, sambil menunjuk pada titik di jam yang menunjukan tengah malam.
Dr. Hamza tidak melanjutkan presentasinya. Ia hanya diam di atas panggung, matanya memindai seluruh hadirin yang ada di hadapannya, melihat dan memperhatikan ekspresi mereka.
"Hari ini, kita menjadi semakin dekat dengan tengah malam," sambungnya, setelah sekian lama membiarkan para hadirin terbungkus oleh keheningan yang memekakkan telinga.
"Keputusan ini datang setelah para rekan-rekan saya di Bulletin of the Atomic Scientist melakukan penelitian dan investigasi yang memakan waktu yang lama, dan berdasarkan penelitian tersebut, maka-"
Presentasi Dr. Hamza terputus, saat seorang wanita yang juga sama-sama mengenakan jas putih naik ke panggung. Para pemirsa, para hadirin, para saksi yang menyaksikan itu mulai kembali riuh, namun riuh yang pelan.
Wanita itu berbisik ke telinga Dr. Hamza. Beliau hanya mengangguk mengiyakan, menjaga ekspresinya tetap datar. Tak lama kemudian, wanita itu turun dari panggung.
"Kami mohon maaf, namun kami harus menunda pengumuman ini untuk sesaat karena ada perkembangan terbaru," ujar Dr. Hamza.
Dr. Hamza bergegas menuruni panggung. Sedangkan para hadirin yang sudah lama menunggu untuk pengumuman tadi ditinggalkan, dibiarkan terjebak dalam kebingungan.
Namun, kebingungan tadi tidak berlangsung lama.
Laki-laki itu, masih berada di kerumunan, masih menunggu. Ia teringat dengan ponselnya. Ia segera membuka ponselnya, mengingat bahwa aplikasi posting video ini, walau bukan sumber berita kredibel, aplikasi itu adalah sumber berita yang cepat.
Jantungnya berdegup, saat ia membaca judul video pertama yang direkomendasikannya. Video itu datang dari sebuah kantor berita ternama dari Timur Tengah.
"TEHRAN HANCUR KARENA SERANGAN NUKLIR: ESKALASI PERANG GAZA"
Keriuhan juga mulai terdengar di antara kerumunan itu. Para peliput dari kantor-kantor berita mulai riuh, sepertinya mereka telah menerima perkembangan terbaru tadi dari tempat kerja mereka. Para peneliti, para pengamat, dan orang-orang penting lainnya juga mulai ribut, menerima dan membuat panggilan suara di ponsel mereka.
Laki-laki itu kembali mengalihkan perhatiannya ke panggung. Dr. Hamza melangkah cepat menaiki panggung itu, langkahnya terkesan terburu-buru.
Para peliput berita kembali mengalihkan perhatian mereka pada apa yang ada di panggung, menyorotkan kamera mereka pada Dr. Hamza dan Jam Kiamat di sampingnya.
Dr. Hamza hanya diam, ia bahkan tidak menatap ke depan, dan memfokuskan matanya pada objek simbolis itu. Tangannya bergemetar, perlahan memutar jarum panjangnya ke arah tengah malam.
Perlahan, ia memutar tubuhnya, gerakannya begitu kaku, seakan ia mau membeku, matanya terbuka lebar, ekspresinya berubah dari netral menjadi pasrah, kaku, beku, tidak tahu harus berekspresi apa.
"Lima detik sebelum tengah malam," suaranya datar, namun sendu.
"Semoga Tuhan mengampuni kita semua."
Dr. Hamza langsung menuruni panggung itu, tidak menyisakan waktu untuk sesi tanya jawab, atau bahkan pernyataan penutup.
Ponsel laki-laki yang ada di kerumunan itu berdering. Ia kembali menyalakan ponselnya, ada sebuah pesan masuk.
"SERANGAN MISIL DATANG, SEGERA CARI TEMPAT BERLINDUNG. INI BUKAN PESAN TES."
Orang-orang disekitarnya mulai membubarkan diri, karena mereka juga menerima pesan yang sama. Sedangkan laki-laki itu, ia merasa semuanya sia-sia.
Dreadfuly concerning:
- Russian invasion of Ukraine
- Israel–Hamas war
- Territorial disputes in the South China Sea
- Casualties of the Russo-Ukrainian War: Russian invasion of Ukraine
- Casualties of the Israel–Hamas war
- Current Time: Doomsday Clock
- What Happens If Israel Goes To War With Iran?
- Iran-Israel proxy conflict: Notable wars and violent events
-
Mutual assured destruction
-
List of ongoing armed conflicts
Miscellaneous links hyperlinked in story:
- Voice of America
- Nuclear Threat Initiative
- YouTube
- Doomsday Clock
- Bulletin of the Atomic Scientists
- Al Jazeera English
- Fallout shelter
- Wireless Emergency Alerts
I hope none of this writing are prescient. But, somehow Tehran being bombed by Israel with a nuke is more realistic than achieving peace.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar