Espresso

Kontemplasi karena segelas kopi.

Espresso by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0

Bagian dari PERSONAL


Angin berhembus menerpa dedaunan, membawa dingin malam. Ruang terbuka begitu luas, mengisolasi siapa saja yang berdiri ditengahnya. Di lapangan parkir itu, di bawah lampu yang menyala redup, seorang laki-laki berdiri di samping motornya. Ia terpaku pada sebuah kertas bertuliskan "surat pelepasan kerja" dan delapan lembar uang berwarna merah. Ia mengangkat matanya ke depan, memandang sebuah gedung di kejauhan, gedung yang dulu ia sebut "kantor." Ia menghela nafas berat, tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini.

"Setidaknya aku bisa fokus ke hal lain sekarang..." gumamnya, mencoba membuat situasinya saat ini terasa sedikit lebih baik. Walau jauh di dalam hatinya, ia tidak merasa yakin, ia tidak pernah yakin, apalagi dengan dirinya sendiri.

Sekali lagi ia menari nafas dalam, sebelum ia menyiapkan dirinya. Ia simpan lembaran-lembaran itu ke dalam tasnya, sebelum ia menaiki motornya.

Angin berhembus menerpa wajahnya, menusuknya dengan angin malam. Gemerlap lampu-lampu kota terpantul di kaca helmnya, selagi ia melaju di jalan aspal yang terbuka luas. Matanya terpaku ke depan, memandang jalan, sampai akhirnya sesuatu menarik perhatiannya.

Ia berhenti, ia parkirkan kendaraanya di depan sebuah minimarket. Lightbox di depan minimarket itu menarik perhatiannya, lightbox yang sederhana, menyala dengan lembut, dan mengiklankan produk kopi.

Ia pikir, ini adalah gaji terakhirnya. Ia sudah lama bekerja di tempat itu, ia sudah lelah bekerja di tempat itu. Ia pikir, setidaknya ia bisa menggunakan gaji terakhirnya ini untuk membelikan dirinya sendiri sebuah hadiah kecil untuk melepas penatnya.

Untuk ke sekian kalinya ia tidak merasa yakin. Untuk ke sekian kalinya ia merasa ragu akan pilihan yang dihadapkan oleh papan menu itu padanya. "Americano?" Turkish Coffee?" "Espresso?" Apa itu? Semua kata-kata itu sangatlah asing baginya.

"Jadi... Apa yang mau Anda pesan?" tanya si pelayan dari balik counter.

Nama-nama itu, semuanya asing baginya. Ia tidak yakin apakah ia mau berkomitmen dengan uangnya ke salah satu pilihan menu yang ada. Jadi, ia pilih menu yang menurutnya beresiko rendah.

"Ah... Espresso satu..." suaranya pelan, mencoba menyembunyikan keraguannya.

Si pelayan hanya mengangguk, langsung bergerak membuatkan pesananannya. Setelah beberapa saat, sejumlah uangnya ditukarkan dengan segelas kecil Espresso. Rasa ragunya semakin menjadi-jadi saat ia mengangkat gelas itu. Gelas itu terasa ringan, terlalu ringan.

Ia segera kembali ke motornya. Rasa ragunya meyakinkannya untuk tidak menyantap segelas Espresso itu sekarang, jadi ia simpan Espresso itu di kotak di motornya, sebelum ia kembali melaju.

Ia melaju di atas jalan raya yang lebar. Beberapa saat berlalu, rasa ragu dan rasa penasarannya bertabrakan. Jadi, ia menepi untuk memuaskan rasa ragu dan rasa penasarannya.

Ia berdiri di samping motornya, di pinggir jalan, di temani lalu lintas lengang yang berlalu-lalang. Ia angkat gelas styrofoam itu, beratnya yang begitu ringan membuatnya merasa ragu. Namun, mengingat harganya, ia merasa penasaran.

"Masa bodoh." Gumamnya.

Bibirnya bersentuhan dengan tepi gelas itu, sedangkan cairan yang ada di dalamnya mulai tertuang ke mulutnya. Ia tidak bisa mempercayainya, rasanya tidak seperti yang ia bayangkan.

Pahit, begitu pahit, namun cair dan panas, kombinasi yang tidak cocok untuk seleranya. Ia segera menjauhkan gelas itu dari mulutnya, kecewa dengan rasa penasarannya dan kecewa karena ia tidak mengindahkan rasa ragunya.

"Sial..." gumamnya.

Ia terdiam sesaat, bibirnya melengkung tipis. Ia angkat gelas itu sekali lagi, dan sekarang ia terkekeh pelan. Ia menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan rasa yang sekarang merekat di lidahnya.

"Benda ini entah bagaimana terasa lebih pahit dari hidupku," gumamnya.

Jika ia mencoba mengingat kembali, terlepas dari hari ini yang terasa pahit, setidaknya hidupnya masih ada rasa manis di sana sini. Ia masih punya sedikit teman, ia punya motor sendiri, ia masih punya hobi yang ia nikmati, dan video game, dan hal-hal lain yang tidak bisa ia ingat satu per satu. Benda ini? Benda ini tidak punya rasa manis sama sekali.

Ia meletakkan gelas itu di tanah, lalu ia kembali menunggangi motornya. Ia kembali melaju, ditelan gelap malam, melaju menuju rumahnya, menikmati sedikit rasa manis dalam hidupnya.


Komentar