Respon Cepat
Respon Cepat by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY 4.0
jarinya bergeser di permukaan layar tabletnya. Ekspresi wajahnya netral, matanya terfokus pada layar tabletnya, menyerap semua informasi yang perlu dia tahu untuk misinya yang akan datang. Keheningan yang menyelimutinya pecah saat pintu kamarnya terbuka.
“Bunda, para Putra telah siap. Kami tidak bisa pergi tanpamu, karena hanya kau saja yang diperbolehkan menyentuh putri bos,” ujar seorang muda yang menunggunya di pintu. umurnya tidak lebih dari 24 tahun. Selain itu, tubuhnya dilindungi oleh rompi anti peluru, dengan sebuah senapan menggantung.
Rosarita mengangkat wajahnya, mengalihkan pandangan matanya pada laki-laki itu. Kacamata bundarnya memantulkan cahaya dari tabletnya, mengaburkan matanya.
“Aku tahu, Alejandro,” jawabnya, suaranya pelan dan sendu.
Ia lempar tabletnya ke kasur. tangannya bergerak pelan, mengambil semua peralatannya dan mengenakannya, sebelum ia melangkah keluar diikuti laki-laki itu.
Ia berjalan menyusuri lorong. Setiap kali ia melewati persimpangan, semakin banyak laki-laki yang mengikutinya, masing-masing memakai rompi dan membawa senapan mereka sendiri. Sementara Alejandro, ia tetap setia melangkah disampingnya. Alejandro dan semua laki-laki itu adalah prajurit Rosarita.
Di ujung lorong, seorang pria berpakaian rapi dan mahal telah menunggunya, di jaga oleh dua pengawal pribadinya. Setelannya mengkilap redup, jahitannya terlihat lembut, mengeluarkan aura kemewahan. Pria itu adalah Miguel Diaz, kliennya. Rosarita melangkah untuk menemui kliennya itu, untuk mendengarkan apapun yang perlu ia katakan padanya.
“Rosarita, pastikan putriku selamat, ya?” Ujar pria itu selagi ia melangkah satu langkah kedepan, nada suaranya merdu namun flamboyan.
“Baik, Tuan,” Rosarita menundukkan kepalanya.
“Dan pastikan kau membawa salah satu dari mereka hidup-hidup, aku sangat ingin menyiksanya dan menjadikannya sebagai pelajaran bagi siapa saja yang nekat mengacau denganku!” Ujar pria itu, suara seraknya meninggi, bisa terdengar ada kemarahan dalam ucapannya. Bagi orang biasa, ancamannya mungkin terkesan mengerikan. Namun bagi Rosarita, yang ia perlu lakukan hanya mendengarkan dan patuh padanya.
“Baik, Tuan,” sahut Rosarita sambil menundukkan kepalanya dengan patuh.
“Sekarang, pergilah, dan jangan sampai kau mengacau!”
Rosarita menunduk untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia melangkah pergi.
Rosarita dan para prajuritnya berjalan menuju sebuah lapangan. Tidak ada suara lain selain suara gemuruh dua unit helikopter yang telah menunggu mereka. Angin dari baling-balingnya berhembus kencang, mengibaskan rambut panjangnya. Ia menunggu di samping pintu, membiarkan para prajuritnya untuk naik lebih dulu. Setelah itu, ia menaiki helikopternya. Baling-balingnya berputar semakin cepat, anginnya terasa semakin deras, dan akhirnya mereka terangkat dari bumi.
Rosarita duduk di tepi pintu, dengan kaki menjuntai ke bawah ke arah petak-petak tanah kering gurun yang melintas jauh di bawah. Sebuah helikopter lain mengikuti penerbangan mereka dari dekat. Angin kencang berhembus ke wajahnya, mengibaskan rambutnya. Ia menyelipkan tangannya ke dalam rompinya, mencari detak jantungnya. Ia bernafas pelan, tidak membiarkan ketegangan mengambil alih dirinya.
“Apa kau tadi menunduk patuh pada laki-laki lemah tadi?” Suara Alejandro menembus telinganya, tersaring melalui suara statis radio.
“Tidak sekarang, Alejandro,” sahut Rosarita pelan, mencoba menjaga dirinya tetap tenang.
“Dia memang klien kita, tetapi bukan berarti dia pantas mendapatkan kehormatan seperti itu!”
“Cukup!” Rosarita tidak bisa menjaga dirinya tetap tenang. Perbincangan mereka terdengar oleh prajuritnya lewat radio, tetapi mereka pura-pura tidak tahu. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
“Dengar, aku lelah. Aku akan melakukan segalanya untuk membuat pekerjaan kita yang ini menjadi lebih mudah, bahkan jika itu berarti aku harus ditiduri olehnya.” Sambungnya dengan lembut, namun dari nada suaranya bisa terdengar rasa lelahnya.
Alejandro terdiam, sedangkan prajuritnya yang lain tidak mau ikut campur. Rosarita mengatur posisi kacamatanya, lalu dengan sebuah teropong ia memandang jauh ke bumi di bawah.
“Ini Bunda, aku melihat target di sisi selatan. Pajaro 2, tolong konfirmasi,” ucapnya ke radio.
“Ini Pajaro 2, kami melihat target di sisi selatan,” suara bercampur statik menjawabnya.
“Berdasarkan pelacak, target ada di mobil paling belakang,” sahut Alejandro sambil melihat tabletnya.
Tiga mobil, melaju di jalan yang sunyi terlihat dari teropongnya. Mobil-mobil itu tampak melaju dengan kencang, menyadari keberadaan mereka di langit.
“Prosedur standar. Pajaro 1 akan memblokir mereka, sementara Pajaro 2 akan melindungi kita dari atas dan akan melakukan tembakan pertama,” ujar Rosarita di radio, suaranya yang datar membawa kesan otoritatif.
“ROE?” sahut Alejandro.
“Sisakan satu untuk kita bawa,” jawab Rosarita. Tidak ada keraguan dalam suaranya.
Ketika mereka terbang rendah mendekati rombongan mobil itu, percikan api mengkilat dari dinding helikopter mereka karena mereka sedang ditembaki. Suara tembakan dari rombongan itu dan Pajaro 2 terkubur di oleh gemuruh baling-baling. Rosarita menarik kokang di senapannya, menyiapkan senapannya.
Rosarita menarik nafas dalam saat burung besi mereka mulai mendekati bumi. Saat tumpangan mereka tersentak saat mendarat, Ia langsung turun sambil membidikkan senapannya ke depan. Para serdadunya mengikutinya di belakang, menyebar membentuk formasi.
Bercak darah membasahi kaca di sisi pengemudi mobil pertama, hasil dari tembakan akurat dari Pajaro 2. Ia tetap membidik ke depan, matanya memindai, telinganya mencoba mendengarkan tanda bahaya diantara gemuruh mesin terbang yang membawa dan mengawalnya. Ia melangkah cepat ke depan.
Dengan sekejap ia membidik targetnya. Telunjuknya menarik pelatuk senapannya. Kilatan cahaya dan dentuman keras diikuti oleh cipratan darah dari targetnya saat ia menembakkan dua peluru ke tubuh, dan satu peluru ke kepala. Targetnya bahkan tidak sempat berteria kesakitan. Gemuruh dari helikopter di sekitarnya sekarang bercampur dengan suara tembakkan dari [ara serdadunya.
Seorang laki-laki muncul dari balik sebuah mobil dengan pistol yang membidik ke arahnya. Dengan lincah, ia menembak tangan laki-laki itu. Laki-laki itu menjatuhkan pistolnya, sedangkan tangannya basah oleh darah. laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berlutut, menahan sakit di tangannya.
“Bangsat! Dasar jalang!” teriaknya. Laki-laki itu menatapnya tajam, matanya memerah dari kemarahannya.
Rosarita tidak memperdulikannya dan tetap melangkah. Dia memberi isyarat dengan tangannya pada prajuritnya. Seorang serdadunya datang dan membungkus kepala pria itu dengan sebuah kantong hitam dan memborgol tangannya.
Ia tetap membidik ke depan, melangkah dengan cepat dan pasti. Detak jantungnya berdebar setiap kali ia mendengar suara tembakan dari sekitar. Ia tetap melangkah, sampai akhirnya ia tiba di mobil terakhir.
“Akan kubunuh dia! Biarkan aku pergi, bajingan!” Teriak laki-laki itu.
Laki-laki itu bersembunyi dibalik seorang gadis, dengan pistol menempel di kepala gadis itu. Rosarita hanya diam, tetap membidik, menarik nafas dalam, menenggelamkan suara gemuruh dan tembakan karena ia sedang memfokuskan diri.
Tanpa keraguan ia langsung menarik pelatuknya saat kepala laki-laki itu terekspos, meninggalkan cipratan darah di kaca jendela di mereka. Gadis itu tidak terluka namun sekarang ada orang mati di belakangnya.
“Aku perlu laporan situasi!” Teriaknya ke radio dengan suara memerintah.
“Tidak ada korban selamat, kecuali satu yang sudah ditangkap,” jawab Alejandro di radio dengan suara datarnya yang khas.
“Ini Pajaro 2, AO aman.”
Sudah aman. Prajurit Rosarita mengambil posisi di sekitar untuk melindunginya dan mengamankan area operasi. Pajaro 2 terbang melingkari mereka, menjadi malaikat pelindung bagi mereka. Rosarita menurunkan kewaspadaannya, membiarkan senapannya menggantung di tubuhnya.
“Ayo, sekarang sudah aman,” ia mengulurkan tangannya pada gadis itu.
Sang gadis dengan ragu ia mendekati Rosarita. Ia menyambut tangannya, menggenggamnya dengan erat. Rosarita menariknya perlahan, memberinya pelukan, mengenakan topeng palsu kelembutan.
“Tidak apa-apa, sekarang sudah aman,” ia melembutkan suaranya.
Kelopak mata gadis itu menghitam, tatapannya kosong. Ia memeluk Rosarita dengan erat, mengubur wajahnya dalam kehangatannya.
“Kami akan membawa kamu kepada ayahmu,” Ia mencoba menenangkan gadis itu. suaranya lembut tanpa emosi.
Pajaro 2 sudah lepas landas, membawa sandera mereka dan beberapa prajuritnya. Alejandro, gadis itu, dan prajuritnya yang lain menaiki Pajaro 2, diikuti Rosarita yang naik terakhir.
Suara gemuruh baling-baling menjadi semakin keras saat helikopter mereka lepas landas. Mereka terbang, ditemani oleh deru interior yang sempit dan petak-petak tanah kering gurun yang melaju dibawah, terlihat dari balik kaca jendela. Rosarita hanya diam, sedangkan gadis tadi masih memeluknya.
Dengan pelan dan ragu, ia meletakkan tangannya di kepala gadis itu. mengelus rambutnya, gadis itu mempererat pelukannya.
Tatapan Rosarita bertemu dengan mata Alejandro. Namun, kontak mata itu berlangsung singkat saat ia menarik nafas dalam dan mengalihkan tatapannya pada gadis itu. Sedangkan Alejandro, ia hanya mengangguk seakan ia mengerti, ia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Rosarita.
******
Diterjemahkan dari Hunt To Rescue oleh Pengkhayal Pasif yang berlisensi CC BY 4.0
Komentar
Posting Komentar