RE/ISOLASI
RE/ISOLASI
LISENSI
Bagian dari PERSONAL
PERINGATAN
Cerita/entri ini PANJANG, multi bagian, dan sepenuhnya berdiri sendiri. Pembaca di harapkan meluangkan waktu yang cukup jika ingin membaca ini tanpa terganggu atau teralihkan.
TUTORIAL
Jika kau menemui tombol dengan karakter >>> dan berkedip seperti dibawah.
ISOLASI
"Kamu nanti matikan proyektornya ya? Ibu mau duluan, nanti uangnya di ambil di depan."
"Baik, Bu."
Kemudian, wanita itu melangkah pergi, meninggalkannya sendirian di aula yang besar ini. Terasa hening, hanya di temani oleh suara gemuruh pelan dari pendingin ruangan, dan suara gemuruh lembut tiga tabung gas laser gas yang memancarkan cahaya, memproyeksikan gambar ke depan ruangan. Terasa begitu sunyi, hampir terasingkan. Ada ratusan kursi di sini, terlihat samar-samar diantara cahaya dari floor light yang memancar dari lantai, tak ada yang di duduki, tak ada siapa-siapa lagi selain dirinya disini.
Laki-laki itu melangkah pergi, menuju ke belakang ruang aula itu dengan mengikuti pendar pudah floor light, kemudian ia memasuki sebuah pintu, lalu mendaki sebuah tangga hingga ia menemui sebuah pintu yang kemudian ia buka. Gemuruh pelan tadi berganti menjadi sedikit lebih keras dan berbuih, suara dari pipa-pipa sirkulasi. Laki-laki itu menutup pintu di belakangnya, mengisolasi dirinya.
Bahkan dengan semua nitrogen cair itu, tiga tabung gas laser besar itu masih memancarkan aura hangat dari tabungnya, ujung tabungnya memancarkan cahaya dengan tiga warna yang berbeda. Merah, hijau, dan biru, memancar menembus sebuah lensa ke depan aula. Dari balik kaca hitam laki-laki itu bisa melihat, tiga warna itu menyatu menjadi gambar yang konkret di dinding ujung aula, walau gambar itu hanya sebidang warna putih belaka.
"Hei." Panggil lembut seseorang.
Untuk sesaat, laki-laki itu tidak mengacuhkan kehadiran orang itu. Ia menjalankan rutinitasnya, menekan beberapa tombol di sebuah dashboard, suara gemuruh dari tiga tabung laser itu berdesir, seakan sedang mengeluarkan gas.
"Kau selalu menemukan waktu yang tepat untuk muncul." Ujar laki-laki itu sembari berbalik menatap orang itu.
Seorang laki-laki yang familiar muncul. Pakaian yang sama kumal dan lusuhnya, kerut bibir yang dan tatap sinis yang familiar, namun dengan serak suara maskulin yang memudar, menjadi sedikit lebih lembut. Kiranya, sepertinya cerminannya juga sudah lelah berpura-pura kuat. Tak pernah ia memberinya nama, terlalu aneh jika memberi "cerminannya" sebuah nama.
"It's because of plot necessity." Jawab cerminannya lembut.
Laki-laki itu hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya sesaat. Sungguh jawaban yang pintar dan self-referential.
"Jadi, kenapa kau kemari?" Tanya laki-laki itu.
Laki-laki itu mengalihkan dirinya untuk sesaat, melakukan tugasnya. Tabung-tabung gas laser itu masih berdesir. Ia menatap ke dashboard, jarum indikator untuk masing-masing warna perlahan mulai berputar ke kanan. Laki-laki itu mengangguk sendiri, sedangkan cerminannya hanya sekedar memperhatikannya. Laki-laki itu menatap kedepan, dari balik kaca hitam bisa terlihat jika bidang warna putih itu sudah berganti menjadi warna nilasungka karena spektrum merah dari tabung ion Kripton telah mati.
Laki-laki itu kembali mengalihkan pandangannya, mendapati cerminannya duduk di meja disamping dashboard dengan santainya. Cerminannya juga ikut mengalihkan pandangannya, dari memandang ke balik kaca hitam itu lalu tertuju ke mata laki-laki itu.
"Untuk menemanimu." Akhirnya cerminannya menjawab.
"Aku begitu sendirian aku harus membuat persona alternatif untuk menemaniku..." Laki-laki itu terkekeh, ia menggelengkan kepalanya, menatap kebawah.
"Ahh..." Laki-laki itu menghela nafas.
Laki-laki itu melangkah pergi ke ujung ruangan, berdiri didepan sebuah jendela. Bukan sebuah jendela, namun sebuah jendela jeruji yang langsung terekspos dengan dunia luar. Dingin angin malam dari hujan rintik abadi menghembus menembus jeruji, menerpa wajah laki-laki itu. Iklan yang familiar, cahaya hologram ungu yang berpendar menyinarinya.
Cerminannya melangkah, berdiri di samping laki-laki itu, berbalik dan menyandarkan punggungnya di jeruji besi yang dingin menembus kain pakaiannya. Cerminannya menoleh ke belakang, menatap keluar, sebelum kembali menatap laki-laki itu.
"Ini mengingatkanku akan sesuatu." Celetuk cerminannya, seakan mengajaknya berbincang.
"Apa?" Tanya laki-laki itu singkat.
"isolasi."
Laki-laki itu langsung teringat. Memudar pandangannya, hilang warna tatap matanya menjadi hitam putih yang mati. Melebur jeruji besi yang ada di depannya menjadi kaca, gemerlap kota berganti menjadi hamparan hutan. Sepertiga wajahnya membengkak namun mati rasa, sebelah matanya tertutup, dan di tangan kanannya, sebuah selang mengalirkan obat-obatan langsung menembus kulitnya.
Jauh, sendirian, sakit, namun untuk pertama kalinya ia tak merasa khawatir akan apapun. "Tak perlu memikirkan itu," "kamu fokus sembuh saja dulu," dan semacamnya. Walau terisolasi, tak bisa kemana-mana, bahkan tak di izinkan untuk keluar dari kamarnya, untuk pertama kalinya dalam hidup dewasanya, di saat itu, laki-laki itu tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
Bagai mimpi seorang pemalas, yang ia lakukan disana hanya sekedar makan dan tidur tanpa ada rasa bersalah.
"hei."
Sekali dua kali saat ia menginap disitu, ia juga harus menerima suntikan obat-obatan yang langsung di alirkan ke urat-uratnya, terasa mengalir deras di bawah kulitnya.
"Hei."
Bukannya saat itu ia malas, ia hanya sekedar mengidap penyakit yang begitu menular. Sebuah berkat yang tersembunyi, penyakit menular itu mengizinkannya untuk istirahat sejenak tanpa khawatir atau merasa bersalah.
"Hei!"
Laki-laki itu tersadar dari lamunannya, mendapati dirinya telah kembali di ruangan yang sama dibalik jeruji, dan ditemani oleh gemuruh lembut pemancar laser itu. Ia juga mendapati cerminannya masih berdiri di sampingnya, namun menatap ke arah lain.
"Benda itu mengeluarkan suara." Ujar cerminnanya.
Laki-laki mengikuti arah tatapan cerminanya, menuju ke sumber suara gemuruh yang berderu. Ia segera melangkahkan kedua kakinya mendatangi ketiga tabung gas laser tadi, mendapati kipas pendinginnya berputar menjadi lebih cepat. Ia menatap indikator di dashboard lalu menatap ke balik kaca hitam. Ia mendapati bidang datar berwana nilasungka tadi telah berganti menjadi warna hijau, gelombang warna biru dari tabung ion Argon telah mati.
"Tidak apa-apa. Tinggal satu warna lagi." Akhirnya laki-laki itu menjawab cerminannya.
Laki-laki itu melangkah mundur ke seberang ruangan, duduk di sebuah kursi yang berdiri sendirian, jauh dari peralatan-peralatan. Ia kembali diam, dan cerminannya hanya sekedar berdiri, bersandar di tabung ion Argon, menatapnya dalam diam. Apa yang ada di pikiran laki-laki itu, juga ada dalam pikiran cerminannya. Karena, mereka berdua adalah dua orang yang sama.
"Kita ini aneh, merindukan isolasi di rumah sakit." Celetuk cerminannya.
"Ya..." Jawab laki-laki itu pelan."
"Kau sudah tidak terisolasi lagi, kau bahkan punya seorang tamu khusus."
"Bicaralah padanya."
"Aku tidak mau." Jawab laki-laki itu sambil mengangkat tatap matanya.
"Kenapa?" Tanya cerminannya, walau sudah mengetahui jawabannya.
"Aku takut."
Suara klik di ikuti oleh suara deru gemuruh yang semakin nyaring. Laki-laki itu langsung berdiri, mengecek ketiga tabung itu. Tabung terakhir, yaitu tabung uap tembaga telah mati, dan bersama itu cahaya hijaunya juga meredup. Suara deru gemuruh adalah pertanda bahwa prosedur pendinginan sudah dimulai, jarum-jarum indikator di dashboard juga mulai berputar semakin jauh ke kiri, proyektor ini sudah bisa ditinggalkan.
"Aku ingat dulu ia pernah memberi tahu seseorang, seseorang yang ia panggil "kakak", bahwa "kakak" ini tidak perlu khawatir bercerita padanya." Ujar cerminannya yang sekarang berdiri disampingnya.
Laki-laki itu jadi teringat, walau pudar memorinya. Sudah lama, mungkin bertahun-tahun yang lalu, ia melihat pesan publik yang entah ditujukan kepada siapa di perangkat komunikasi personalnya. Disebutkan disana "kakak", entah siapa "kakak" ini maksudnya.
"Kau yakin itu aku?" Tanya laki-laki itu, merasa ragu.
"Kurasa dia cukup tahu tentang kita." Jawab cerminannya lembut.
"Tentang... kau." Sambungnya, sambil mengangkat kedua bahunya.
"Kurasa kau... harus bicara padanya, tentang apapun itu."
Laki-laki itu diam sesaat, wajah dan mata tertunduk kebawah, dengan nafas yang menjadi semakin dalam, semakin pelan. Hingga akhirnya, ia bergerak tiba-tiba.
"Tunggu!"
Entah apa yang harus dirasakannya, cerminannya tidak tahu. Namun, ia tidak lagi mencegatnya, ia biarkan laki-laki itu meninggalkannya tanpa pamit, laki-laki itu melangkah cepat, buru-buru.
REISOLASI
Ribut anak-anak, terasa sesak, orangnya terlalu banyak. Tak pernah ia menceritakan ini sebelumnya, namun kediamannya selalu ditinggali oleh setidaknya enam orang pada sembarang waktu atau saat, dengan jumlah terbanyak mencapai delapan orang termasuk dirinya. Tak banyak privasi yang ia punya, namun beruntungnya karena mereka adalah pemiliknya, maka ia bisa memilih dimana kamarnya.
Bahkan diantara orang banyak seperti ini, ia masih merasa terisolasi. Ketiga anak itu tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya, neneknya tidak akan paham dan ia tidak mau membebaninya dengan isi pikirannya, pamannya hanya akan menghakiminya, dan sekarang ada adiknya.
Ia tidak tahu bagaimana adiknya akan menyikapi dirinya.
Ia merasa seperti tidak mau tahu.
Atau mungkin, ia tidak sanggup tahu.
Ia merasa seperti sudah tahu apa yang ingin ia keluarkan, yang malah membuatnya semakin tidak ingin untuk mengungkapkannya. Hanya segumpal kegelisahan dan kelelahan dan kekhawatiran yang begitu konkret hingga tidak bisa di abstraksi disini.
Laki-laki itu duduk di sebuah titik. Ini bukan titik favoritnya, namun titik yang selalu menjadi tempat tujuannya disaat ia ingin keluar dari kamarnya, namun tidak ingin keluar dari kediamannya. Ia duduk di lantai, bersandar ke dinding kaca berjeruji, sekedar memperhatikan gemerlap kota malam diluar. Pendar cahaya violet menari mencoba menarik perhatian, pendar cahaya itu sudah menjadi bagian dari dunia ini.
Sudah berkali-kali pria itu berlalu lalang, kadang duduk di depan meja dekat titik tempat laki-laki itu duduk. Pria itu sedikit lebih muda darinya, namun bisa terlihat wibawanya. Gagah kekar raganya, murah senyum kepribadiannya, bicara lembut komunikasinya. Segala hal tentang pria itu jauh lebih dewasa, tidak seperti laki-laki itu.
Hari demi hari berlalu, pulang pergi kerja atau belajar. Selalu terbenak dalam pikiran laki-laki itu untuk bicara dengannya. Namun, entah kenapa, ia selalu mengisolasi dirinya sendiri, berkurung mengisolasi diri di kamar.
Hingga akhirnya, pria itu kembali pergi. Pergi, untuk menganut pendidikannya.
"Kau tidak bicara dengannya."
"Kenapa kau tidak bicara dengannya?"
Laki-laki itu tidak acuh, hanya diam saja, mengisolasi dirinya di kamarnya. Tatapannya kosong, tidak menatap keluar jendela, melainkan menatap ke lantai dengan mata yang tertunduk. Tatap matanya mengerucut, periferal pengelihatannya meredup, pendengarnya semakin meredam, yang terdengar hanyalah nafasnya yang semakin memberat dan suara protes dari benaknya.
"Diam."
Laki-laki itu menghembuskan nafas berat, seakan sedang menahan sesuatu. Bergerak pelan kepalanya, membawa tatap matanya ke cerminannya yang berdiri didepannya.
"Diam." Bisiknya.
Berdesir pelan suara kain saat laki-laki itu beranjak dari kasurnya. Tangannya menjangkau, menekan sebuah tombol yang kemudian menenggelamkan kamarnya ke gelap malam. Pendar cahaya dari luar begitu mengganggu jadi ia tarik tirai-tirainya, namun cahayanya masih bisa menembus kainnya yang tipis.
Laki-laki itu berjalan, bolak-balik berjalan, karena kemana lagi ia bisa berjalan. Sedangkan cerminannya beranjak, lalu duduk di tepi kasurnya, dalam diam ia memperhatikan.
"Kau tidak hanya sekedar takut." Celetuk cerminannya.
Laki-laki itu terus berjalan bolak-balik seperti seseorang yang gelisah, ia masih tidak mengacuhkan ucapan dari benaknya.
"Aku tahu, sebenarnya kau ma-"
"Cukup." Sanggah laki-laki itu sebelum benaknya bisa menyelesaikan ucapannya.
"Kau... sangat tidak membantu." Suara laki-laki itu lesu.
Laki-laki itu kembali melangkah, kali ini ikut duduk di tepi kasur di samping cerminannya. Ia menghela nafas berat, sedangkan cerminannya menjangkau, meraih perangkat komunikasinya.
"Coba hubungi dia." Ujar cerminannya, sambil meletakkan sebalok perangkat itu diantara mereka berdua.
"Tapi... bicara apa aku?" Laki-laki itu tidak mengangkat tatap matanya.
"Apapun itu."
"Tapi... aku kan ka-"
"Shh." Cerminannya berdesis lembut menyangkal ucapan laki-laki itu.
"Kau dan dia... hanya ada dua."
"Kau dan dia... hanya punya satu sama lain saja."
"Aku yakin ia paham."
Bergerak pelan tangan cerminannya, mengangkat perangkat itu, menyodorkannya pada laki-laki itu. Sama pelannya gerak tangan laki-laki itu, bahkan berkedut ingin mundur, merasa ragu, walau begitu tangannya terus bergerak maju.
"Untuk kali ini saja, keluar dari isolasi."
Resonan elektris yang lembut dan berulang bisa terdengar samar-samar, menjadi suara kedua dalam kesunyian ini.
Suara itu terus berulang seakan sudah tidak sabar...
...dan berulang, hingga akhirnya-
"Halo."
"Ah... Halo?"
"Kakak? Ada perlu apa menghubungiku?"
"Ah... maaf."
"Maaf? Maaf... kenapa?"
"Maaf..."
"Saat kau ada tadi, aku tidak... bicara apa-apa denganmu..."
"Oh..."
"Tidak apa-apa."
"Sungguh?"
"Sungguh."
"Tidak apa-apa."
"Ah... Oke."
Beberapa saat berlalu dalam kesunyian yang canggung. Kesunyian yang mengisolasi.
"Kurasa... itu saja dulu."
"Sebenarnya... aku masih ada beberapa hal yang ingin ku bicarakan, tapi... mungkin nanti saja.
"Oke."
Percakapan tadi diakhiri oleh sebuah suara dengungan mekanis yang terdengar tumpul, berdenyut teratur.
Entah apa yang harus ia rasakan. Lega, atau malu?
Tubuh laki-laki itu terbaring lemas di atas kasur, kedua kaki dan tangannya tampak terurai diantara gelap bayangan malam. Jari-jari tangan kanannya menggenggam lemah sebuah perangkat yang menyala redup.
Dadanya bergerak naik turun dengan ritme pelan, kedua matanya tertutup. Namun, kedua pipinya basah dan lembab.
Untuk yang kesekian kalinya, beginilah dia mengakhiri malamnya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Semakin jauh aku menulis ini, semakin aku menahan diri.
BalasHapus