Polikromatik

Pengalaman romansa yang belum terselesaikan.

 

Polikromatik by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-SA 4.0

Bagian dari PERSONAL


Laki-laki itu mendorong motornya dengan sekuat tenaga, menaiki sebuah bidang miring, memasuki bingkai pintu rumahnya. Ia memarkirkannya di ruang tamu.

Langkahnya lambat, namun berjeda lama, seakan ia sedang bergegas dan sedang tidak tergesa-gesa di waktu yang sama. Suara ketukkan metalik terdengar saat ia mengunci pintu kamarnya, diikuti oleh sebuah suara hentakan saat ia menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Ia tidak peduli. Walaupun kamarnya gelap gulita hanya diterangi oleh sebiji lampu, ia tidak peduli. Walaupun tubuhnya masih dibungkus oleh kemeja flanel favorit, ia tidak peduli.

Pupilnya membentuk setengah lingkaran, tertutup oleh kelopak matanya. Perlahan, kelopaknya semakin menurun, semakin melemah.

Dunianya hilang warna, hanya terdiri dari abu-abu. Ia duduk bersimpuh di lantai, di depan sebuah meja kecil. Matanya terdiam, pupilnya membesar, pandangannya terfokus ke meja di depannya. Tidak ada apa-apa di meja itu.

Ketukkan metalik terdengar. Suara hentakan berjeda semakin mendekat. Seorang pria duduk di depannya. Ia mengangkat tatapannya, mengangkat kepalanya.

"Yo," sapa laki-laki itu ramah.

"Kau..."

"Gila bukan?" Pria itu membalasnya sebelum ia selesai berucap.

Ibarat menatap ke sebuah cermin, pria itu benar-benar mirip seperti dia. Pakainya, tata ucapannya, sikapnya, bentuk tubuhnya, semuanya sama. Pria itu tidak hanya mirip, dia memang benar-benar dirinya.

"Yah, ku rasa ini wajar-wajar saja," jawab laki-laki itu.

Ia teringat dengan kebiasaannya. Ia selalu berbicara sendiri saat sedang berkendara. Ini adalah versi yang lebih gila dari itu, tetapi masih wajar.

"Kau masih suka warna monokromatik?" Tanya pria itu. Matanya memutari keseluruh ruangan, tidak ada warna di sini selain abu-abu dan variasinya.

"Bukannya suka, tetapi hanya ini saja yang ku punya. Seharusnya kau tahu itu," jawab laki-laki sambil menunjuk pria itu.

"Ngomong-ngomong, bagaimana hari-harimu? Ada yang menarik?" Tanya pria itu.

"Yah... Kau lihat saja sendiri," jawab laki-laki itu, sambil menunjuk ke pintu di belakangnya dengan ibu jarinya.

Pria itu berdiri, melangkah pergi menuju pintu itu. Gagang pintunya dingin saat ia pegang, ia memutarnya, besi-besi di engselnya bergesekan, berderit pelan. Ia disambut oleh angin malam.

Ia meninggalkan bingkai pintu yang telah kosong di belakangnya. Pria itu mendapati dirinya berdiri di tepi sungai, di sebuah jalur trotoar. Suara riuh tawa terdengar dari kejauhan. Ia melangkahkan kakinya menuju suara itu.

Ia mendapati sumber suara itu. Lima orang muda-mudi duduk melingkar, dengan sebuah botol di tengahnya. Di antara muda-mudi itu ada seorang laki-laki, dia adalah dirinya. Seseorang memutar botol itu.

"Kena dare, aku pengen kau menyapa orang itu," ujar seorang gadis di antara muda-mudi itu.

"Ah, no! Aduh kenapa harus itu sih dare nya!" Keluh seorang laki-laki di antara muda-mudi itu.

Pria itu mengamati muda-mudi itu dengan seksama. Ada sedikit pendar warna di antara mereka. Pria itu melanjutkan langkahnya.

Di ujung trotoar, ia menemui sebuah tangga yang turun. Tidak ada apa-apa di bawahnya, hanya ada kekosongan yang siap diisi. Ia menuruni tangga itu

Pupil matanya mengecil saat disirami oleh cahaya putih. Musik dengan bahasa yang tidak asing bisa terdengar dari kejauhan. Ia melangkahkan kakinya, menjauhi tangga yang baru dia langkahi, melewati barisan meja-meja kayu dan barisan kotatsu yang di letakkan di atas lantai yang ditinggikan. Di salah satu kotatsu itu, sepasang muda-mudi duduk dengan mangkuk ramen yang kosong.

"Kau tau Kota Lama?" Tanya si gadis.

"Jujur, aku jarang jalan-jalan, jadi... Aku enggak tau," jawab si laki-laki, ada jeda di antara ucapannya.

"Mau mencoba ke sana?" Tanya si gadis.

"Tapi, aku kan enggak tau..."

"Nanti aku bilangin di mana tempatnya."

Di sekeliling pasangan itu, dunia masih abu-abu, monokromatik. Akan tetapi, ada pendar warna di antara pasangan itu. Di dalam dunia monokrom ini, hanya mereka yang memiliki warna.

Pria itu melangkah pergi keluar dari restoran itu. Di ujung jalan, gemerlap cahaya menjulang hingga ke langit. Ia mendatangi cahaya itu.

Ia tiba di tepi sungai. Riuh suara mengisi kekosongan malam. Banyak orang-orang berjualan, banyak yang bersinggah untuk membeli. Ia melangkah melewati sepanjang pasar malam itu, hingga akhirnya ia tiba di ujungnya.

Sepasang muda-mudi duduk di sebuah bangku taman, menghadap ke sungai. Di seberang sungai bisa terlihat cahaya menjulang tinggi ke langit, dan bisa terdengar samar suara irama musik.

"Kau tidak suka konser?" Tanya si laki-laki.

"Sebenarnya aku agak introvert, jadi aku enggak suka keramaian," jawab si gadis.

"Yah, aku juga tidak suka konser."

Mereka berdua pun terdiam. Duduk mereka diberi jarak oleh makanan ringan yang mereka nikmati bersama. Tidak satupun dari mereka mencoba bicara, seakan tidak ingin mengganggu ketenangan satu sama lain. Di sekelilingnya, dunia mulai mendapatkan warnanya kembali.

Pria itu melangkah pergi, menyusuri jalan di pinggir sungai, semakin jauh, semakin gelap. Hingga akhirnya ia menemui sebuah halte bus. Ia menaiki bus itu.

Tidak jauh bus itu berjalan, menyeberangi sebuah jembatan, melewati jalanan yang penuh dengan kendaraan. Akhirnya, bus itu berhenti. Ia turun dari bus itu.

Setelah bus itu berjalan, akhirnya pandangannya tidak terhalang lagi. Di seberang jalan, ia menemui kedua muda-mudi itu lagi. Si laki-laki sedang mengendarai sebuah motor, sedangkan si perempuan baru saja turun dari motor itu.

"Selamat tinggal," perempuan itu melambaikan tangannya.

"Ya," jawab laki-laki itu singkat.

Laki-laki itu menghembuskan nafas panjang. Ekspresi wajahnya netral, walaupun setelah saat seperti ini, setidaknya ia akan tersenyum tipis. Tetapi, ia tidak bisa. Ia mengenakan helmnya, dan langsung pergi. Dunia mulai menjadi abu-abu lagi.

Dada pria itu bergerak tajam sesaat ia menghela nafas. Tangan kanannya menjangkau belakang lehernya seakan ia kelelahan, walau begitu ia tetap membawa kedua kakinya melangkah. Walau kali ini, ia hanya bolak-balik.

Di bolak-balik terakhir, ia meneruskan langkahnya hingga ke ujung jalan. Di sana, ia menemui sebuah pintu. Tidak ada tembok, tidak ada dinding di sekitarnya, hanya sebuah bingkai pintu.

Ia buka perlahan pintu itu, engselnya berderit karena besi-besinya bergesekan. Pupilnya sekali lagi mengecil, saat disirami oleh cahaya siang.

Di depannya, ada seorang laki-laki duduk bersimpuh di depan sebuah kotatsu. Dia adalah laki-laki di antara muda-mudi tadi. Laki-laki itu adalah dirinya. Ia menghampiri laki-laki itu, duduk di hadapannya.

"Jadi, kita akan melepaskan yang satu ini?" Ujar pria itu.

"Melepaskan? Tidak ada yang perlu dilepaskan, karena tidak ada yang pernah di pegang," jawab laki-laki itu murung.

"Kurasa kita berharap terlalu jauh," sambungnya, matanya menatap kosong ke meja di depannya. Di atas meja itu ada sebuah mangkuk kosong.

"Kita hanya berharap bisa menjadi jujur dengannya. Kurasa itu tidaklah jauh," sahut pria itu.

Hening, tidak satupun dari mereka berbicara ataupun berucap sesuatu. Seakan mereka sudah saling memahami. Mereka memang sudah saling memahami. Pria itu berdiri dari tempatnya.

Pria itu duduk di samping laki-laki itu. Pelan, ia merangkulnya, mengelus kepalanya. Laki-laki itu tidak bisa merasakan rangkulan atau elusannya, ia hanya bisa membayangkannya. Karena ia tidak pernah dirangkul atau dipeluk oleh siapa-siapa.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya pria itu.

"Entahlah..." Jawab laki-laki itu lemah.

"Tidak maukah kau menangisinya?" Tanya pria itu dengan pengertian.

"Tidak perlu. Ini masalah kecil. Aku punya masalah lain yang lebih pantas untuk ditangisi," jawab laki-laki itu dari dalam rangkulan imajiner pria itu.

"Hei, setidaknya kita sudah sejauh ini. Memulai dari nol itu sulit, dan entah bagaimana kita bisa melakukannya," pria itu mencoba menyemangatinya.

"Lagi pula, aku masih bingung," sahut laki-laki itu, ia mengangkat kepalanya, menatap mata pria itu. Menatap cerminannya.

"Bingung kenapa?" Pria itu balas menatapanya.

"Tentang perasaan ini..." jawab laki-laki itu berbisik.

Walau ia tahu mereka berdua tidak bisa merasakannya, pria itu tetap mempererat rangkulannya. Walau ia tahu mereka berdua tidak bisa  merasakannya, ia tetap mengelus rambut laki-laki itu dengan lemah lembut.

Dunia mereka masih abu-abu. Tetapi, ada sesuatu yang aneh. Dunianya tidak lagi abu-abu, melainkan dipenuhi oleh warna yang terdesaturasi, dekat dengan abu-abu, tetapi masih berwarna. Secara definisi, dunia mereka tidak lagi monokromatik.

"Polikromatik," gumam pria itu.

"Masih monokromatik," sahut laki-laki itu.

"Kita sudah belajar banyak, dan masih belajar banyak. Dunia kita akan menjadi polikromatik, aku yakin itu," jawab pria itu.

"Sekarang, saatnya untuk bangun," sambungnya.

Tanpa ragu, laki-laki itu melepas rangkulannya. Ia melangkah menuju sebuah pintu di ujung ruangan. Ia buka pintu itu.

Ia membuka matanya.

Ia masih terbungkus oleh kemeja flanel favoritnya. Ia segera bangun, mengambil ponselnya untuk melihat jam.

6.00 AM.

Ia menggelengkan kepalanya. Mimpi tadi itu adalah sesuatu. Tetapi, ku rasa aku ada benarnya. Aku sudah belajar sesuatu dari ini. Aku masih belajar.

Ia segera menjauh dari kasurnya dan memulai pagi barunya.

Komentar

  1. Yo. Seperti biasa ini aku, penulis cerita ini. Ini ditulis full dari awal pakai bahasa Indonesia, bukan hasil terjemahan. This one is one of those personal ones, with lots of symbolisms.

    Konteks silahkan interpretasikan sendiri, karena ini adalah sekuel untuk "Monokromatik" dan "Re: Monokromatik." Simbolisme tidak hanya ada di dalam interaksi antara "laki-laki" dan "gadis," tapi lebih mendalam lagi dalam interaksi antara "laki-laki" dan "pria." Kedua karakter ini adalah dua sisi dari koin yang sama.

    Selain itu, aku tidak suka menggunakan kata "gadis," entah kenapa rasanya salah. Tapi, jika aku menggunakan kata "perempuan," kesannya malah jadi netral, dan jika aku menggunakan kata "wanita" kesannya malah jadi formal. Jadi, kurasa silahkan interpretasikan arti penggunaan kata "gadis" di sini. Ini juga merupakan salah satu simbolisme.

    Warna juga menjadi bagian dari simbolisme. Monokromatik merupakan skema warna yang menggunakan warna tunggal dan hanya di bedakan oleh tingkat kecerahannya. Sedangkan Polikromatik merupakan skema warna yang warna-warni dan melingkupi semua level kecerahan dan saturasi. Mengasumsikan pengelihatan mu normal, kau sedang melihat dunia lewat skema warna polikromatik. Untuk simbolismenya? Silahkan interpretasikan sendiri.

    Masih banyak hal di cerita ini yang mengandung simbolisme. Feel free to interpret it.

    In short, I've learned a lot about myself, and what it takes to form a connection from total, absolute zero. But, I guess this one wouldn't get anywhere just like the last one, which is disappointing yet expected. But then again, I don't like this to be unresolved. But then, again, I can't control other people, I can only control myself.

    I never thought writing can be emotionally cathartic, yet here I am. See ya in my next story!

    BalasHapus

Posting Komentar