NIGHT'S STORY: Part 1
Cerita ini mengandung deskripsi sensualitas. Elemen ini terjadi di antara dua karakter secara konsensual, dan di gambarkan secara non-eksplisit. Walau begitu, pembaca di harap bijaksana dalam membaca, khususnya bagi para pembaca yang mungkin merasa konten seperti demikian berlebihan atau membuat tidak nyaman.
Cerita ini ditulis oleh seseorang yang tidak pernah memiliki hubungan romantis atau seksual, anggap cerita ini sebagai tulisan EKSPERIMENTAL.
NIGHT'S STORY: Part 1 by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-NC-SA 4.0
NIGHT'S STORY: Part 1
Laki-laki itu duduk di dekat jendela, dengan sebatang rokok yang menyala menemaninya. Kamarnya gelap gulita dan sunyi, seperti hatinya. Setelah apa yang ia lewatkan, ia merasa hampa. Walau begitu, wajah gadis itu, ia terus menyimpannya dalam memorinya. Setiap kali ia melihat keluar, terngianglah wajahnya di sinar bulan yang lembut.
Terngianglah dalam hatinya, begitu sempurna gadis itu di matanya. Suaranya yang lembut dan ramah, senyumnya yang memukau dan menenangkan jiwa, hatinya yang penyayang dan pengertian. Di matanya, dia adalah satu-satunya Gadis Yang Sempurna.
Ia mengambil ponsel dari sakunya. Sinar layarnya menjadi satu-satunya cahaya yang mengekspos wajahnya dalam kegelapan ini. Ia sedang menunggu sebuah pesan masuk, dan pesan itu masih belum masuk. Ia memandang keluar jendela untuk yang kesekian kalinya.
Terngianglah di benaknya, momen itu. Momen saat gadis itu ada bersamanya, begitu dekat namun jauh rasanya. Di saat itu, yang perlu ia ucapkan hanyalah "maukah kau bersamaku?" Namun, entah kenapa ia tidak mengambil kesempatan itu.
Ia tarik nafas dalam-dalam, menikmati hangatnya rasa rokok dalam isapannya. Ia hembuskan asapnya keluar jendela, mencoba meringankan pikirannya.
Terngianglah di pikirannya, masa kelam yang memulai segalanya. Dengan sedikit uang yang ia punya ia membeli jasa kencan satu malam, karena ia ingin memuaskan rasa penasarannya. ia teringat bagaimana rasanya, hampa namun menegangkan. Di saat itu, jantungnya berdebar, nafsunya menggebu menjadi liar.
Dengan lugunya ia pikir, dengan melakukan "itu" ia bisa menutupi kehampaan ini. Sekarang, kehampaan itu telah menjadi rongga, yang hanya bisa dilupakan, namun tidak bisa ditutupi lagi. Malam ini adalah kencannya yang ke sekian kalinya, dengan perempuan yang berbeda, dalam usahanya yang sia-sia untuk menutupi kehampaan ini.
Teringatlah dia, bagaimana ia bisa tenggelam dalam pelarian ini. Uang yang ia dapatkan dari bekerja mulai ia sisihkan sedikit demi sedikit agar bisa membayar gadis sewaan di akhir bulan. Awalnya hanya sesekali, namun perlahan berubah menjadi kebiasaan.
Ia menarik nafas panjang, menghembuskannya dengan pelan. Tiba-tiba, ponselnya beredering.
"Aku sudah didepan." Pesannya.
Ia membuang puntung rokoknya, dan segera melangkah menjauh dari jendela sambil membawa ponselnya menuju pintu kamarnya. Sebelum ia menyambut tamu yang sudah ia tunggu, ia melihat melalui lubang intip yang ada di pintu.
Pupil matanya membesar, Jantungnya berdebar.
Ia terpana, membeku di kedua kakinya, matanya terbuka lebar, memandangi gadis itu melalui lubang intip di pintunya. Ia merasa tertipu, gadis itu tidak seperti yang ada di foto profil di ponselnya. Tingginya semampai, dengan wajah oval, dan rambut hitam pendek yang tidak asing lagi.
Ia masih berdiri membeku, keringat dingin mengucur dari dahinya, nafasnya terasa berat, ia tidak tahu apa yang dia lakukan.
"Kenapa gadis itu disini?"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Apa yang harus kulakukan dengannya?"
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.
Ia kembali menatap melalui lubang intip itu. Gadis itu masih berdiri didepan pintu, ia sedang menggunakan sebuah cermin kecil. Pandangan laki-laki itu terfokus disaat gadis itu mengaplikasikan lipstik ke bibirnya yang tebal dan merah menyala.
Jantungnya kembali berdebar, di saat gadis itu mengetuk pintunya.
Laki-laki itu merasa begitu rindu dengannya, namun tidak begini ia ingin bertemu dengannya. Walau begitu pikirnya, ini mungkin adalah kesempatan kedua. Ia menyesali bagaimana ia melewatkan kesempatannya yang pertama, kali ini dia tidak boleh melepaskannya.
Ia menarik nafas sedalam-dalamnya, menutup mata untuk sesaat, mencoba menenangkan dirinya. Saat ia membuka matanya, tangannya bergemetar seraya ia memutar gagang pintu kamarnya.
Pintunya berderit, terbuka perlahan, di sambut oleh wajah yang tidak asing dalam kenangan.
Pintunya terbuka lebar, laki-laki dan gadis itu berdiri berhadapan, saling menatap, mencoba mencerna kegilaan yang sedang terjadi pada mereka. Mulut mereka setengah terbuka, begitu banyak yang ingin mereka ucapkan pada satu sama lain, namun semuanya terkubur dalam keragu-raguan mereka.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, lalu berdehem. Gadis itu menatap langsung mata laki-laki itu.
"Jadi, apa kau klienku untuk malam ini?" Tanya gadis itu. Nada suaranya datar, hampir terkesan formal.
"Ah... Ya..." Jawab laki-laki itu ragu-ragu.
"Boleh aku masuk?" Tanya gadis itu. Bahkan walau suaranya datar, nadanya tetap merdu dan lembut.
Laki-laki itu melangkah ke samping, memberi jalan bagi gadis itu. Gadis itu menjaga tatapannya ke depan selagi ia melangkah. Terbesit keraguan dalam benaknya, namun seketika ia melangkah masuk ke kamar laki-laki itu, seketika itu juga takdir telah ditentukan bagi mereka berdua di malam ini.
Gadis itu duduk di tepi ranjang di kamar itu. Matanya melirik sesaat, mencuri pandangan saat laki-laki itu mengunci kamarnya dan melangkah mendekatinya. Keheningan malam yang menyelimuti mereka dipecahkan oleh gemerisik pakaian laki-laki itu saat ia duduk di sampingnya.
Gadis itu tidak mau memikirkan masa lalu, namun kehadiran laki-laki itu disampingnya, di situasi seperti ini, membuat pikirannya menjadi bingung.
"Kau... kau banyak berubah..." ujar laki-laki itu.
Gadis itu tersadar dari lamunannya. Matanya berputar, di ikuti oleh gerak tatapannya. Laki-laki itu menatap kosong ke depan, pipinya memerah pudar, namun tidak terbesit dari sikapnya niat untuk menyembunyikan ekspresinya. Gadis itu teringat, dulu dia adalah laki-laki yang pemalu, namun tidak pernah menyembunyikan rasa malunya.
"Kau... kau tidak banyak berubah..." sahut gadis itu.
"Kenapa menurutmu begitu?" Laki-laki itu menatap ke mata gadis itu.
Waktu terasa berhenti. Ia teringat, bagaimana dulu ia suka berbicara dengan laki-laki itu agar ia bisa melihat pipi merahnya. Elok dan manis ekspresinya.
"Pipimu masih suka memerah." Jawab gadis itu, sambil memaksakan senyum tipis.
"Begitu ya?" Laki-laki itu kembali menatap kosong kedepan, terkekeh canggung. "Kau baik-baik saja?" Laki-laki itu kembali menatapnya, tatap matanya yang lembut dan tulus, walau terjebak dalam situasi seperti ini.
"Aku tidak tahu... begitu banyak yang kulalui akhir-akhir ini." Jawab gadis itu pelan.
Ia teringat dengan masa lalu. Bahkan dibalik kecanggungan dan sifat pemalunya, laki-laki itu selalu menyapa dan menyambutnya, menanyakan kabarnya.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di saat seperti ini..." Ujar laki-laki itu memecah keheningan, mencondongkan tubuhnya ke belakang, bertumpu pada kedua tangannya.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya gadis itu.
"Banyak. Banyak sekali..." jawab laki-laki itu pelan. Ia menolehkan pandangannya, seakan ingin menyembunyikan sesuatu di wajahnya. "Andai saja aku menggunakan kesempatanku di saat itu... kau... kau tidak tahu..."
Jantung gadis itu berdebar saat mendengar perkataan laki-laki itu. Memori itu kembali, disaat mereka berduaan, begitu dekat dan rentan. Mulut laki-laki itu setengah membuka, ingin mengucapkan sesuatu padanya. Namun, entah kenapa ucapannya terganjal dan tidak pernah terselesaikan.
"Pecundang..." bisik gadis itu, tidak bisa ia menahan rasa yang membingungkan ini.
"Aku memang pecundang." Jawab laki-laki itu, kembali menatap gadis itu.
Pupil matanya melebar, saat laki-laki itu kembali memandang gadis itu. Bukan ekspresi amarah, ataupun ejekan, akan tetapi ia disambut oleh senyum tipis yang membingungkan, bercampur aduk antara ketulusan dan paksaan.
"Aku tidak bisa melakukan ini denganmu..." ujar laki-laki itu seraya mengalihkan pandangannya, seakan ia benar-benar mengakui bahwa dirinya adalah pecundang.
"Tapi, apa kau mau melakukannya?" Tanya gadis itu seraya mencondongkan tubuhnya ke arah laki-laki itu. Pertanyaan itu dijawab laki-laki itu hanya dengan mengangkat bahunya.
Gadis itu meyakinkan dirinya, dengan pelan ia menarik nafas dalam, menenangkan debar detak jantungnya. Suara gemerisik kain bergesekan membuat suasana diantara mereka berdua menjadi semakin tegang, saat gadis itu menggeser tubuhnya, duduk lebih dekat dengan laki-laki itu, hingga tebuh mereka bersentuhan, berbagi kehangatan.
"Tidak perlu takut denganku, tidak perlu malu denganku..." bisik gadis itu lembut.
Mata laki-laki itu terbuka lebar, pipinya memerah terbuka, namun tubuhnya membeku, terpada pada kedekatan di antara mereka berdua.
"Aku sudah bukan gadis lagi, jadi aku mau menyelesaikan ini, oke?" kasarnya kulit laki-laki itu kontras dengan lembutnya sentuhan gadis itu, saat ia menggapai tangannya, memegang tangan laki-laki itu dengan erat.
"Tapi..." belum sempat laki-laki itu selesai berucap, wanita itu telah menghalangi bibirnya dengan jari kecilnya dan berdesis pelan.
"Jangan jadi pecundang." Wanita itu mendorong laki-laki itu perlahan, mendorong tubuhnya ke ranjang.
Diantara keheningan malam ini, yang memecahnya hanya suara nafas mereka berdua. Jantung mereka berdetak singkron, sedangkan tatapan mereka terpaku pada satu sama lain. Laki-laki itu pasrah, membiarkan dirinya menikmati kehangatan dari wanita itu yang menindihi tubuhnya. Laki-laki itu pasrah, membiarkan dirinya menikmati sentuhan lembut dari wanita itu di pipinya.
"Nikmati saja kesempatan kedua ini, selagi masih ada..." bisik wanita itu.
Wajah wanita itu mendekat. Nafas mereka menegang, tajam dan panjang. Mata mereka setengah tertutup, bibir mereka setengah terbuka, saling mengundang untuk menjadi satu dengan sama lain. Wanita itu menangkupkan kedua tangannya di pipi laki-laki itu, memberinya kehangatan dan kelembutan di saat akhirnya bibir mereka bertemu, mengawali malam ini dan mengawali bab baru dalam ikatan benang merah mereka berdua.
Part 1|Part 2>
Gaya tulisan sedikit mengikuti "Re: Monokromatik" (of all things) dan "Berbagi Hati dan Rasa" (as expected). Awalnya aku berpikir "ah, paling cuman 500 kata." Kilas maju dua jam kemudian, aku menulis sekitaran 1300 kata.
BalasHapusJadi... cerita ini menurutku merupakan cerita fiksi paling rumit kedua yang pernah ku tulis setelah "Kilas Maju." Cerita ini terinspirasi dari video klip lagu "The Perfect Girl" oleh Mareux, walau cerita ini jauh, jauh lebih heteronormatif dari apa yang di gambarkan di "The Perfect Girl."
Cerita ini agak "meta" karena banyak apa yang terjadi didalamnya mereferensi pada apa yang terjadi sebelumnya dalam cerita yang sama. Selain itu, kata yang digunakan juga sengaja dipilih kata apa yang akan digunakan dan kapan. Contohnya transisi dari penggunaan kata "gadis" menjadi menggunakan kata "wanita" untuk menyebut karakter yang sama.
I guess that's about it, or this comment bakal jadi kepanjangan. it's time to hiatus again. See ya in my next story!
Out of all writing yang ada disini, yang ini (sepertinya) akan menjadi seri.
BalasHapus