NIGHT'S STORY: Part 4

 

Cerita ini mengandung deskripsi sensualitas. Elemen ini terjadi di antara dua karakter secara konsensual, dan di gambarkan secara non-eksplisit. Walau begitu, pembaca di harap bijaksana dalam membaca, khususnya bagi para pembaca yang mungkin merasa konten seperti demikian berlebihan atau membuat tidak nyaman.

Cerita ini ditulis oleh seseorang yang tidak pernah memiliki hubungan romantis atau seksual, anggap cerita ini sebagai tulisan EKSPERIMENTAL.


 

NIGHT'S STORY: Part 4

Malam ini beda.

Sudah lima batang rokok ia habiskan sambil duduk sendirian di ruangan ini. Ruangannya gelap seperti biasa, hanya disinari oleh cahaya redup dari floor lamp yang berdiri di ujung ruangan, sedangkan televisi didepannay sudah mulai berdebu tidak terpakai. Asap mengepul setiap kali ia selesai menghisap rokoknya. Akhir-akhir ini dia jadi sering begini. Jika ia tidak bekerja, maka ia merokok sampai habis sebungkus, tidur, atau kencan buta.

Keheningan itu lenyap seketika saat bel pintunya berbunyi. Walau kakinya terasa berat, ia tetap harus melangkah menemui tamunya. Ketika ia membuka pintunya, kedua tangan wanita itu langsung melingkari tubuhnya. Ia diam sesaat, membiarkan itu terjadi.

"Senang kita bisa bertemu lagi," ujar wanita itu lembut, seraya melepaskan pelukannya dengan pelan.

"Jadi, apa yang mau kita lakukan malam ini?" sambungnya, seakan langsung berfokus pada urusan bisnisnya.

Laki-laki itu hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Biasanya ia tahu apa yang mau di lakukan saat bersama dengan seorang perempuan, namun wanita itu membuatnya merasa lemah, rapuh, dan bingung. Ia tidak tahu apa yang mau ia lakukan bersamanya.

"Kalau begitu, aku masuk dulu. Nanti kita pikirkan apa yang akan kita lakukan untuk malam ini."

Laki-laki itu membiarkan tangannya di tarik oleh wanita itu. Sambil ia melangkah, sesekali ia menghisap rokoknya, meninggalkan jejak asap di jalannya.

Lemah gemulai rasanya, saat wanita itu mendorong laki-laki itu ke sofa. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih, melihat laki-laki yang dikenalnya begitu menurut dan patuh padanya. Namun, ini sudah menjadi bagian dari pekerjaan. Jika kliennya bingung, maka ia harus mengambil kendali, membuat malam ini menyenangkan bagi kliennya.

"Kau sudah sering melakukan ini?" tanya wanita itu, sambil bertolak pinggang. Ia berdiri tinggi ibarat menara.

Laki-laki itu menyempatkan diri untuk menghisap rokoknya, sebelum menghembuskan asapnya menjauh dari wanita itu.

"Ya." Jawabnya singkat.

"Dilihat dari reaksimu, ini terkesan seperti kali pertama untukmu." Jawab wanita itu.

"Bersama orang lain, aku sudah sering. Bersamamu, ini seperti kali pertama bagiku." Jawab laki-laki itu, tanpa warna merah atau rasa geli di pipi. Entah dia sudah merasa nyaman, atau rokok itu membuatnya merasa mati rasa.

"Ini kali keduamu bersamaku," wanita itu menunduk, mendekati wajah laki-laki itu. "Jangan bilang kau sudah lupa apa yang terjadi diantara kita beberapa malam yang lalu," sekarang wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter dari satu sama lain.

Laki-laki itu menatap ke arah lain. Ia menekan puntung rokoknya ke sebuah asbak, mematikan apinya. Lalu, ia kembali menatap wanita itu.

"Malam itu terukir di ingatanku," jawabnya singkat.

Wanita itu kembali berdiri tegap, menjaga tatapanya di mata laki-laki itu. Tak bisa ia menahannya, jadi ia biarkan dirinya tersenyum, senyum tipis yang khas dari wajahnya. Laki-laki itu tidak tahu apa maksud dibalik senyuman itu.

"Yah... karena sepertinya kau tidak tahu apa yang mau kita lakukan, bagaimana jika aku yang memandu malam ini?" tanya wanita itu.

"Terserahmu," jawab laki-laki itu.

"Oke. Pertama-tama, dimana dapurmu?"

Laki-laki itu tidak berkata apa-apa, hanya bergestur dengan tangannya ke arah dapurnya. Wanita itu segera melangkah tanpa pamit meninggalkannya, sedangkan laki-laki itu tidak peduli. Ia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, menyulutnya, menikmati hangatnya. Tak lama kemudian, wanita itu kembali.

"Aku harap kau tidak keberatan aku mengambil ini," ujar wanita itu ramah sambil meletakkan sebotol anggur dan sepasang wine glass di meja.

"Tidak. Aku tidak keberatan," jawab laki-laki itu singkat.

Biasanya laki-laki itu yang melakukannya, menuangkan anggur bagi teman kencannya. Namun, terlepas dari betapa kecilnya gestur itu, laki-laki itu tetap terdiam, terkesan terpana, saat ia melihat wanita itu menuangkan anggur untuknya. Setelah itu, wanita itu menghempaskan tubuhnya ke samping laki-laki itu, duduk merapat dengannya.

"Ah... aku sudah malas berdiri," wanita itu menatap langsung ke matanya. "Bisakah kau nyalakan televisinya? Aku mau netflix and chill in the most literal sense possible," senyumnya lembut.

Seakan terhipnotis, laki-laki itu berdiri dari tempatnya. Sambil ia berjalan, ia masih sempat menghisap rokoknya. Lalu, ia kembali duduk di samping wanita itu yang sekarang menawarkan wine glass kepadanya. Walau terkesan seperti formalitas belaka, ia menerima tawaran itu dan bersulang dengannya, sebelum mencicipi manisnya.

Ia meletakkan gelasnya ke meja, lalu bersandar di sofa. Wanita itu menyusul dengan bersandar di dadanya. Kali ini beda rasanya, karena kali ini dia benar-benar merangkulnya, mengizinkan dirinya menikmati kehangatan tubuh wanita itu. Wanita itu menatap kedepan, wajahnya netral, dengan tangan terjulur menekan tombol di remot, mencari sesuatu untuk di tonton di TV yang menyinari mereka berdua ditengah ruang yang gelap ini.

"Biasanya aku kencan di luar, di restoran mewah atau semacamnya," wanita itu mulai bercerita. Ia menceritakan sesuatu yang tidak seharusnya ia ceritakan pada kliennya. Ia ingin melihat reaksi laki-laki itu.

"Apa ini terlalu sederhana bagimu?" Tanya laki-laki itu, sebelum menghisap rokoknya untuk yang kesekian kalinya, mencoba mematikan rasa.

"Tidak. Aku malah suka. Tidak banyak formalitas atau basa-basi, dan tidak melelahkan." Suara wanita itu lembut saat menjawabnya.

Wanita itu melemparkan remotnya ke sofa setelah ia mendapatkan tayangan yang ia suka. Ia merapatkan posisinya, menekan tubuhnya ke tubuh laki-laki itu. Antara tanggung jawab pekerjaan, atau memang dari keinginan, ia tidak tahu. Dia hanya ingin merasakan kehangatannya.

"Aku tidak suka bau mu," ujar wanita itu menatap laki-laki itu. Lagi, ia mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak ia ucapkan pada kliennya.

Seakan mengejek, laki-laki itu menghisap rokoknya sedalam-dalamnya, sebelum menghembuskan asapnya ke arah lain sebelum ia membalas tatapan wanita yang ada di dalam rangkulannya.

"Apa karena aku merokok?" tanyanya.

"Aku tidak suka klien perokok," wanita itu seakan menantang.

"Terserahku, suka-sukaku," jawab laki-laki itu tak acuh, sebelum ia kembali menghisap rokoknya.

Wanita itu menghembuskan nafas. Ada dua perasaan dalam satu hembusan itu. Ia merasa sedikit lega, karena laki-laki itu tidak marah karena kata-katanya. Namun, ia juga sedikit merasa kesal, karena ia memang tidak suka klien perokok.

"Begini, bagaimana jika kau ku beri sebuah ancaman?" ujar wanita itu dengan suara merdunya.

"Ancaman apa?" sahut laki-laki itu, masih dengan sebatang rokok diantara dua jarinya.

"Jika kau masih merokok, aku tidak akan memperbolehkanmu menciumku. Bagaimana?" wanita itu tersenyum seraya mengucapkan nada tanyanya.

Laki-laki itu terdiam setelah mendengar ancamannya. Rokok di antara dua jarinya terus terbakar dengan pelan selagi ia berpikir. Rokok ini sudah seperti ritual yang tidak bisa dilepaskan. Selain itu, sensasi ringan kepala dan mati rasa yang diberikan oleh rokok ini bukanlah hal yang bisa ia tinggalkan begitu saja.

Desir gesekan kain bisa terdengar samar-samar diantara bisingnya televisi, saat wanita itu membuat gerakannya. Tangannya terulur, menggapai rokok dari tangan laki-laki itu. Jari laki-laki itu melemah, saat jari wanita itu mengambil rokok dari tangannya. Wanita itu beranjak sebentar dari rangkulan laki-laki itu untuk mematikan rokok itu di sebuah asbak. Lalu ia kembali ke dalam rangkulannya.

Wanita itu tertawa halus, seakan ia malu tertawa, atau seakan ia ingin laki-laki tertarik dengan tawanya.

"Ada apa?" ujar laki-laki itu.

"Tidak ada," bisik wanita itu lembut seakan menyembunyikan sesuatu.

Wanita itu merapatkan jarak diantara mereka berdua, menekan tubuhnya ke laki-laki itu seakan ia ingin laki-laki itu untuk melupakan tawanya tadi. Laki-laki membalas balik, mempererat rangkulannya, seakan ia menurut dengan apa yang diinginkan wanita itu, apapun itu.

Kesunyian menyelimuti mereka berdua, hanya ditemani oleh berisiknya televisi, pelannya nafas mereka, dan tenangnya detak jantung mereka. Perlahan kehangatan diantara mereka berdua bercampur. Namun, walau begitu dekat jarak mereka masih terasa jauh. Dalam pikiran mereka masih teringat sifat transaksional dari hubungan mereka.

 

<Part 3|Part 4|Part 5> 

Komentar