Selamat Ulang Tahun

"Selamat ulang tahun, diriku."

Selamat Ulang Tahun by Pengkhayal Pasif is licensed under CC BY-NC-SA 4.0

Bagian dari PERSONAL


Laki-laki itu melangkah berat, diikuti oleh sebuah bayangan hitam yang tajam. Ia berjalan melewati sekumpulan orang yang dia sebut “keluarganya.” Selagi ia melangkah melewati mereka, ia tidak merasakan ada kedekatan dengan mereka. Ia tidak tahu harus merasa apa pada mereka, yang ia tahu ia merasa terdiskoneksi dari mereka.

Ia membuka pintu kamarnya. Ia melangkah masuk, disambut oleh sebuah ruangan sempit tak teratur, dan disambut oleh sebuah wajah yang familiar. Ia menutup pintu di belakangnya, ia meletakkan tasnya, lalu ia duduk di samping orang itu.

Mereka duduk di lantai, bersandar di lantai. Mereka hanya diam, seakan mereka sudah saling memahami. Orang itu, dia terlihat sama tidak rapinya dengan dia. Rambutnya berminyak, sama seperti rambutnya, pakaiannya lusuh, sama seperti pakaiannya. Wajahnya netral tanpa ekspresi, sama seperti wajahnya. Orang itu adalah dia. Orang itu adalah cerminan dirinya.


“Kegilaan macam apa ini...” gumam laki-laki itu.
“Ayolah, ini hanya cara lain untuk bicara dengan diri sendiri... cara yang lebih... eksternal.” Sahut cerminannya, suaranya santai dan tenang.
“Jadi... ada yang ingin kau bicarakan?” sambung cerminannya, suaranya lebih ramah dari suara laki-laki itu sendiri.
“Kau sudah tahu sendiri. Lagi pula, kau ada di dalam kepalaku.” ucap laki-laki itu tak acuh.
Mereka diam sesaat. Senyap kamar dipecah oleh helaan nafas cerminannya.
“Aku tahu bahwa aku sudah tahu. Tapi, tidak ada salahnya jika kau mau membicarakannya,” sahut cerminan itu. Suaranya adalah suara paling ramah yang laki-laki itu pernah dengar.

Laki-laki itu menarik nafas panjang. Begitu banyak yang terjadi, begitu banyak yang ingin ia ceritakan. Tanpa ragu, ia menatap cerminannya tepat di mata, dan ia mulai membuka mulutnya.
Cerminannya memasang telinganya, mendengarkan setiap dan semua kata-kata yang diucapkannya, mendengarkan setiap dan semua cerita yang diutarakannya. Cerita tentang berdiri diantara dua batu nisan. Cerita tentang ditinggalkan oleh sebuah siluet. Cerita tentang pelepasan belahan hatinya. Cerita tentang menjadi tak terlihat dan tak terdengar, di tengah kerumunan. Cerita tentang saat ia berdiri di tepi jembatan. Ia memberikan laki-laki itu perhatian penuh. Namun, semakin lama laki-laki itu bercerita, ia bisa merasakan suara laki-laki itu perlahan menjadi semakin pecah.
Tadi itu belum semuanya, belum cukup. Tapi, hanya itu saja yang bisa diceritakan.
Mereka terdiam sesaat.
Laki-laki itu mengangkat tatapannya keatas. Matanya berkaca-kaca, dibanjiri air mata. Saat ia berkedip, kilat yang sekejap kemudian di ikuti oleh dentuman petir memecah kesunyian di antara mereka. Dia segera menyeka matanya.
Ia berdiri, melihat keluar jendela. Langit biru berubah menjadi abu, ditutupi oleh gumpalan awan kelabu, diikuti oleh kilatan cahaya dan dentuman petir yang memekakkan telinga.
Ia kembali duduk, kembali menghadapi cerminannya.

“Aku merasa seperti… seperti tidak ada yang memahamiku,” ucapnya tanpa diminta.
“Tidak ada yang memahami kita. Kita hanya bisa berpegang pada diri kita sendiri,” cerminannya menggemakan kata-kata laki-laki itu.
“Aku tahu… Hanya saja… aku pernah bermimpi konyol, bermimpi disayangi oleh seseorang,” laki-laki itu memaksakan senyumnya.

Mimpi itu. Itu adalah saat dimana ia bisa merasa tenang untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Itu adalah saat dimana, untuk pertama kalinya ia merasa bahwa ia bisa merasa bahagia, bahagia yang tulus dan nyata. Namun seperti semua mimpi, mimpi akan berakhir saat ia bangun. Ia tersenyum, senyum diantara kepalsuan dan kebahagiaan. Namun, kenyataan bahwa semua itu hanyalah mimpi cukup untuk menghapus senyum ambigu itu dari wajahnya.

“Kita hanya bisa berharap mimpi kita akan menjadi nyata,” ujar cerminannya.
“Seakan-akan kita bisa melakukan hal lain selain hanya bermimpi,”
“Kita bisa melakukan hal lain untuk hari ini, karena aku punya hadiah untukmu,” sahut cerminannya.

Cerminannya menjulurkan tangannya, diikuti oleh cahaya kuning redup. Cerminannya memberikannya sebuah kue kecil, dengan sebuah lilin yang menyala redup diatasnya. Lilin itu menyala sendu, berayun mengikuti angin saat laki-laki itu mengambilnya.

“Selamat ulang tahun,” ujar cerminannya sambil tersenyum tipis.

Saat laki-laki itu meniup lilinnya, tiba-tiba suara gemuruh menenggelamkan momen sunyi ini saat hujan tiba-tiba turun deras. Cerminannya, ia menghilang tanpa jejak.
Kue itu masih ada ditangannya. Derasnya hujan kini menyatu, terikat dengan keheningan ini. Cahaya langit kini digantikan oleh cuaca yang gelap.
Ia meletakkan kue itu ke sampingnya. Ia melingkarkan tangannya, memeluk kedua kakinya di antara kedua lengannya. Dia menariknya, mengeratkan pelukannya. Dia membenamkan wajahnya, tidak tahu apa yang harus dia rasakan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan kuenya itu. Namun, itu adalah satu-satunya hadiah yang dia terima.
Ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-22, namun dia membiarkan cuaca gelap menyelimuti dirinya. Begitu sedikit dari dirinya yang tersisa.

Komentar

  1. Well... Aku tidak tahu apa yang harus ku ucapkan disini. Semuanya sudah ada di atas sana. So.... It is what it is. Oh, selain itu, cerita ini pertama kali ditulis tahun 2023, so fitting, isn't it?

    BalasHapus

Posting Komentar