Ruang Interogasi

Sekuel untuk Polikromatik, dan cerita Personal secara lebih luas.

Bagian dari PERSONAL

Laki-laki itu melangkah pelan, ditutupi bayangan gelap malam. Langkah kakinya tak bersuara, tidak ingin membangunkan orang-orang yang sudah terlelap mendahuluinya.

Ia membuka pintu kamarnya, lalu melangkah masuk. Ia meletakkan tas dan tubuhnya ke lantai, bersandar di dinding yang dingin.

Matanya melirik ke sekeliling, saat kamarnya mulai memudar, ditelan kegelapan dan berganti bentuk. Tanpa bergerak, tanpa menyadari, ia sudah berada di ruangan berbeda.

Beginilah isi ruangannya. Kosong, hanya ada meja di tengahnya, dan sebuah proyektor yang menampilkan kenangan-kenangannya. Lalu, ada seseorang yang melangkah masuk dari kegelapan. Wajah dan perawakannya sama seperti dirinya. Faktanya, orang itu adalah dirinya sendiri[1], seorang cerminan yang terdisasosiasi dari dirinya yang ini. Beginilah isi ruangannya, sama seperti isi hatinya.

"Hai." Sapa cerminannya ramah.

"Terakhir kali kita bertemu seperti ini, itu saat ulang tahun kita[2]." Jawab laki-laki itu.

"Ya." jawab cerminannya singkat.

Suara berderit menggema saat cerminannya menarik sebuah kursi. Ruangan itu kembali menjadi sunyi saat cerminannya duduk di depan laki-laki itu, hanya disekat oleh sebuah meja.

"Bagaimana kabarmu?" tanya cerminannya.

Laki-laki itu memperhatikan gerak cerminannya. Karena dunia ini hanyalah sebuah monolog internal, cerminannya tidak terlalu terburu-buru. Ia bergerak pelan, jarinya terkesan lemah lembut saat ia menyalakan proyektor di meja. Cahayanya terpancar ke depan, namun gambar yang muncul hanya gambar putih polos dan kosong.

"Kau sudah tahu sendiri. Lagi pula, kau ada di dalam kepalaku," laki-laki itu mengangkat bahunya.

Cerminannya terkekeh sesaat. Ia menekan sebuah tombol di proyektor itu, dan sekarang cahayanya menampilkan gambar seorang gadis[3] yang pernah mereka kenal, dan masih mereka kenang.

"Ah... tidak..." laki-laki itu menyangga kepalanya di meja dan menatap kebawah, seakan ia menolak.

"Jika kau tidak ingin berbicara, kenapa kau tenggelam ke sini?" tanya cerminnya tak acuh.

"Bukan berarti aku mau bicara tentang dia..."

"Lantas, kenapa wajahnya adalah hal pertama yang ditampilkan oleh memorimu?"

Laki-laki itu menatap cerminannya dengan pupil yang terbuka lebar seakan ia ingin melihat dirinya sendiri dengan sejelas-jelasnya. Bibirnya terbuka sedikit, ingin mengucapkan kata. Namun, yang keluar dari mulutnya hanyalah helaan yang bercampur antara lelah, kesal, dan pasrah.

"Aku gila... kenapa aku ada disini bersama... diriku sendiri?" tanya laki-laki itu kesal sambil mengusap wajahnya.

"Karena kau suka bicara sendiri[4]," jawab cerminannya dengan senyum tipis.

Laki-laki itu tertawa halus sebelum menggelengkan kepalanya. Namun, ia tidak membantahnya. Mau bagaimanapun juga, dirinya tahu begitu banyak tentang dirinya sendiri.

"Yah... yah... terserah," sahut laki-laki itu terkesan mengelak.

"Ada sesuatu pikiran yang mengganggu mu," ujar cerminannya.

"Sudah jelas, kau kan ada di dalam kepalaku," jawab laki-laki itu tak acuh, tidak membalas tatapnya.

Laki-laki itu bergerak, membawa tangannya ke proyektor itu. Ia menekan sebuah tombol di proyektor itu, dan sekarang pancaran cahanya menggambarkan sebuah video.

Video itu lama berputar, dengan frame yang terpata-patah, tak bersambung, namun masih bagian dari satu memori unik. Di video itu, ia duduk bersama seorang gadis di sebuah kafe.

Walau frame video itu patah-patah, namun masih tergambar jelas kecanggungan laki-laki itu, begitu jelas hingga dia sendiri bisa merasakannya walau hanya menyaksikan memorinya yang terdahulu. Video itu tidak di ikuti oleh suara, karena ia sendiri tidak begitu ingat. Namun, walau begitu, dari video itu ada satu hal yang jelas dia ingat, dan itu adalah saat dia kehilangan kata-kata.

Saat gadis itu berdiri dan melambaikan tangannya, ia bisa merasakan kekecewaan laki-laki itu, tentu saja karena laki-laki itu adalah dirinya. Dari menonton rekam kenangan itu, ia ingat kalau masih ada sesuatu yang ia ingin ungkapkan, namun ia merasa sungkan.

Video itu membeku.

Laki-laki itu menumpu kepalnya di meja seraya mengusap wajahnya, namun di balik dekapan tangannya ia tersenyum.

"Aku bodoh..." gumamnya pelan.

"Dan payah." celetuk cerminanya sambil tersenyum.

Laki-laki itu tertawa mendengar sahutan cerminannya. Tawanya terus menggema di dalam ruangan kosong itu, sedangkan cerminannya hanya tersenyum melihat tawa dirinya sendiri.

Laki-laki itu menarik nafas sedalam-dalamnya, merasakan udara hangat melewati saluran pernafasannya saat ia menghembuskan nafasnya. Ia menggelengkan kepalanya, tak bisa menahan senyum.

"Aku masih tidak berani... bahkan disini[5]..." ujar laki-laki itu tersenyum. Dengan senang hati ia mengaku.

"Kita masih tidak berani," jawab cerminannya.

"Ya..."

Mereka terdiam sesaat, menenggelamkan ruangan kosong itu kedalam kesunyian, terasa sedikit kesan kedamaian dalam diri mereka. Dalam kedamaian yang sunyi itu, meja diantara mereka berdua menyusut, mendekatkan jarak diantara mereka berdua. Cerminannya menggapai kedua tangan laki-laki itu, meletakkan tangannya di atas kedua tangan laki-laki itu.

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya, mendapati tangan mereka saling bertumpang tindih. Namun, rasanya begitu kosong dan terlepas, tidak terasa kehangatan. Ia tidak pernah mendapati tangannya dipegang oleh orang lain, selain dirinya sendiri.

"Setidaknya kita masih bisa berpegang pada[2] diri kita sendiri." ujar cerminannya lembut.

Laki-laki itu mengangkat tatapannya, menatap mata cerminannya.

"Walau hanya sedikit dari diri kita yang tersisa[6]?" tanya laki-laki itu dengan suara sendu.

"Akan selalu ada sedikit dari diri kita yang tersisa. Karena kita telah hidup seperti ini[7], selama ini, dan masih, kita memberanikan diri melangkah menjalani hidup." jawab cerminan itu dengan senyuman hangat menenangkan yang tidak akan pernah bisa di replikasi oleh laki-laki itu.

Laki-laki itu menghela nafas panjang. Lelah rasanya, namun ia tidak berani pergi[8]. Lelah rasanya, merasa menyendiri dan tak disayang[9]. Namun setidaknya... ia masih memiliki dirinya sendiri.

"Aku tidak ingin pergi atau ditinggal sendiri olehku... setidaknya tidak ingin untuk sekarang..." sahut laki-laki itu pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

"Kalau begitu, aku akan tetap disini sampai kau mau pergi."

Cerminannya mempererat genggam tangannya, menggenggam tangan laki-laki itu. Walau begitu, genggamannya tidak terasa, karena laki-laki itu dan cerminannya adalah bagian dari seseorang yang sama, yaitu dirinya. Selagi mereka berdua berdiam dan terdiam, ruangan itu menjadi semakin sunyi, sama seperti seseorang itu.

 

[1] Depersonalisasi

[2] Selamat Ulang Tahun

[3] Polikromatik

[4] Komunikasi Intrapribadi

[5] Ruang Interogasi

[6] Aku dan AI

[7] Label "Personal"

[8] Jatuh yang Jauh

[9] Re: Monokromatik

  

Komentar